Jepang atau yang biasa dikenal sebagai "Negara Matahari Terbit" merupakan salah satu negara maju di Asia yang perkembangan teknologi dan industrinya sangat pesat. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali peralatan elektronik, mobil atau bahkan robot pintar yang berasal dari negara tersebut. Namun, di tengah pesatnya perkembangan teknologi di negara tersebut, Jepang tetap menjaga dan memelihara budaya mereka yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh para pendahulunya. Budaya-budaya yang berkembang di masyarakat Jepang meliputi bahasa, keyakinan, tradisi, tata krama dan masih banyak lagi. Salah satu budaya yang masih kuat di Jepang hingga saat ini adalah budaya patriarki.
Menurut Detik.com patriarki merupakan sistem sosial dimana laki-laki dianggap mempunyai kontrol kekuasaan penuh dibanding wanita dalam berbagai aspek kehidupan seperti kehidupan sosial, budaya dan kehidupan dalam berumah tangga. Budaya patriarki yang masih sangat kental di Jepang tidak terlepas dari masa lalu negara tersebut yang diwarnai oleh sistem pemerintahan feodal yang berlangsung hingga restorasi Meiji pada tahun 1896. Budaya patriarki ini menyebabkan para wanita tidak mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam berbagai bidang termasuk dalam bidang profesional sekalipun. Selain itu, patriarki menyebabkan ketimpangan gender di masyarakat yang membuat laki-laki memiliki peran yang lebih dominan sehingga wanita terpaksa harus berada di posisi subordinasi terutama dalam keluarga. Hal tersebut tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang dimana wanita yang sudah berkeluarga dibebankan pada tanggung jawab dalam mengurus keluarga terutama anak. Selain dalam kehidupan keluarga, patriarki dalam dunia profesional di Jepang juga masih sangat kuat sehingga banyak terjadi pelecehan kepada wanita khususnya pada wanita yang sedang hamil. Pelecehan atau diskriminasi yang diterima oleh wanita yang sedang hamil dalam dunia kerja di Jepang disebut matahara.
Matahara () merupakan singkatan dari "Maternity Harrasment" yang merupakan istilah yang digunakan masyarakat Jepang untuk menyebutkan pelecehan, diskriminasi atau perlakuan tidak adil terhadap wanita baik fisik maupun mental yang ditanamkan pada wanita pekerja saat mereka hamil atau melahirkan dengan melakukan pemecatan, penghentian kontrak kerja ataupun memaksa mereka untuk berhenti dari pekerjaan secara sukarela (Sayaka, 2016:82). Kasus matahara diakibatkan dari budaya patriarki yang menganggap bahwa lebih baik laki-laki yang bekerja di luar sementara wanita harus tinggal di rumah untuk mengurus dan membesarkan anak sehingga terjadilah kasus pelecehan terhadap pekerja wanita (Sayaka, 2016:14). Menurut Kementerian Kesehatan Jepang perilaku yang termasuk dalam kategori matahara adalah pelecehan terhadap kondisi kehamilan, contohnya seperti tidak memedulikan pekerja wanita ketika ingin menggunakan hak hukum yang berlaku mengenai kehamilan, mengancam pekerja wanita dengan pemecatan atau penurunan jabatan ketika ingin menggunakan hak hukum atas kehamilan, serta melecehkan melalui perbuatan atau perkataan ketika seorang wanita menyinggung tentang hukum yang berlaku mengenai kehamilan.
Menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan Ketenagakerjaan yang bekerja sama dengan Tokio Marine and Nichido Risk Consulting pada tahun 2020 menyebutkan bahwa sekitar 57% responden yang merupakan pekerja wanita mengalami matahara akibat kehamilan itu sendiri, diikuti oleh mengambil cuti hamil sebelum dan sesudah kelahiran pada 28.9% dan penurunan efisiensi kerja pada persentase 25.5%. Selain melakukan survei tentang alasan terjadinya matahara di lingkungan kerja, Kementerian Kesehatan dan Ketenagakerjaan juga melakukan survei tentang pelaku matahara dilingkungan kerja yang hasilnya menunjukkan bahwa 57% pelaku matahara adalah atasan para pekerja wanita (selain pejabat atas), lalu pejabat perusahaan pada persentase 28.9%, dan diikuti oleh rekan kerja pada persentase 25.5%.
Perlakuan matahara yang umum terjadi dalam dunia kerja di Jepang ini tentu saja berdampak kepada pekerja wanita baik secara fisik maupun mental. Bersamaan dengan survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan Ketenagakerjaan di atas, dipaparkan juga dampak fisik maupun mental yang terjadi kepada korban yang menerima perlakuan matahara di tempat kerja antara lain merasa marah, tidak puas dan kecewa pada 69.2%, motivasi bekerja menurun di 52.9% dan diikuti oleh menurunnya komunikasi di tempat kerja pada persentase 26.2%. Berdasarkan survei tersebut dapat disimpulkan bahwa dampak paling besar yang dialami oleh korban matahara di tempat kerja adalah rasa marah, tidak puas dan kecewa. Hal tersebut dapat menyebabkan para wanita yang bekerja enggan untuk hamil ataupun memiliki anak karena adanya perlakuan matahara yang kerap terjadi dalam dunia kerja di Jepang.
Saat ini, Jepang mengalami krisis kependudukan yang hebat. Mendiang mantan perdana menteri Jepang Shinzo Abe pada masa jabatannya menyebutkan bahwa penurunan populasi yang dialami Jepang merupakan krisis nasional dimana Menurut data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan dan Ketenagakerjaan, Jepang mengalami penurunan populasi yang signifikan selama lebih dari 50 tahun dengan penurunan populasi sebesar 0.90% sejak tahun 1980. Hal tersebut membuat Jepang masuk ke dalam jajaran negara yang mengalami penurunan angka kelahiran terbesar di seluruh dunia. Oleh karena itu, pemerintah Jepang menerapkan kebijakan yang dapat mendorong angka kelahiran salah satunya dengan mengatasi ketimpangan atau tidak setaraan gender yang kerap dialami oleh para pekerjanya terutama pekerja wanita yang sedang hamil. Salah satu upaya yang dikerahkan oleh pemerintah Jepang untuk melindungi hak wanita hamil adalah dengan membuat pasal-pasal yang memuat hak para wanita hamil atau wanita yang memiliki anak yang termuat pada Labor Standards Act pada pasal 64 ayat 2 dan 3 yang mengatakan bahwa wanita yang sedang hamil, wanita yang dalam satu tahun setelah melahirkan, dan wanita yang telah memberitahukan kepada perusahaan bahwa mereka tidak akan mengambil bagian dalam pekerjaan yang dilakukan di lingkungan bawah tanah: semua jenis pekerjaan yang dilaksanakan di bawah tanah. Pasal tersebut mengandung larangan bagi perusahaan untuk mempekerjakan atau menugaskan wanita yang sedang hamil, wanita yang dalam satu tahun setelah melahirkan dalam pekerjaan yang melibatkan tugas-tugas berat seperti bekerja dalam lingkungan yang berbahaya, ataupun pekerjaan lainya yang memiliki risiko membahayakan kehamilan yang sedang dialami pekerjanya.
Bisa disimpulkan bahwa saat ini Jepang sedang mengalami krisis kependudukan dengan angka kelahiran yang cukup terbilang rendah. Untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah Jepang banyak melakukan upaya untuk mendorong warga negaranya untuk mempunyai anak salah satunya dengan menciptakan lingkungan kerja yang aman, baik dan terhindar pelecehan terutama bagi pekerja wanita yang sedang hamil maupun pasca kehamilan. Selain itu, pemerintah Jepang juga sedang dalam misi untuk mengurangi budaya patriarki yang sudah mendarah daging dalam masyarakat Jepang karena dengan adanya budaya patriarki yang menganggap laki-laki mempunyai kedudukan lebih tinggi dibanding wanita menjadi salah satu alasan mengapa para wanita di Jepang enggan untuk berkeluarga dan memiliki anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H