Lihat ke Halaman Asli

Nggak Ada yang Boleh Durhaka

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sekali lagi, Nggak Ada yang Boleh Durhaka!. Ringkasan atau ulasan
singkat ini saya beri judul sederhana saja, "nggak ada yang boleh
durhaka" agar pada tulisan selanjutnya nanti bisa berjalan dengan
tetap santai dan tidak terlau jauh menjudge. Mengingat perihal durhaka
/ kedurhakaan merupakan salah satu keburukan yang bersifat fatal dan
hampir mirip dengan penghianat / lupa berterima kasih atas apa yang
telah diterima.
Serta kemudian, sekali lagi saya kira judul ulasan ini cukup "nggak
ada yang boleh durhaka!" saja,
Selanjutnya, mari ngobrol,,--
Begini, akhir-akhir ini saya sering terngiang-ngiang kata-kata
"dasar anak durhaka" ,
"anak durhaka" ,
"bocah kok durhaka gitu" ,
"anak nggak tau diri" ,
"nggak tau terima kasih" ,
dan lain sebagainya banyak. Dari seringnya kata ini saya dengar
kemudian lagi sinetron-sinetron yang banyak menceritakan tentang
kedurhakaan seorang anak pada ibunya atau kedua orang tuanya, jadi
mikir begini:
kok seakan cuma anak yang selalu menerima label durhaka ini?,
kok selalu anak yang selalu terkena tuntutan kejelekan?,
kok seakan kedurhakaan itu hanya diperankan dan milik umumnya anak?
-saya sedikit bingung,
Apa hanya karena lebih lama tinggal dibumi, sehingga para orang tua
dikategorikan pada semua kebaikan dan harus mendapat penghormatan
mutlak dari anak?-
Apa karena seorang tua itu diidentikan pada figur panutan? Sehingga
anak hanya boleh, sendiko dawuh?
Ada beberapa peristiwa sekitar dan mungkin ini umum terjadi, kita
buat suatu perbandingan:
-saat orang tua sudah mempunyai anak
1. Anak dibesarkan disekolahkan sampai lulus atau paling tidak agar
anak tadi bisa bergaul menyamai teman-temannya, kemudian si anak tadi
dikirim bekerja dengan harap agar sedikit banyak ikut membantu
keuangan keluarga/orang tua.
2. Seseorang membeli anak sapi, dipelihara digemukkan dibesarkan
kemudian jika dirasa sudah cukup besar dan harga pasaran diperkirakan
sudah cukup untung, kemudian sapi tadi dijual.
Apakah tidak sama saja ujungnya, anak dianggap sebagai aset berjalan
hidup dan bisa dimanfaatkan. Itu perkara yang sangat halus,
Perkara kasarnya yaitu: pernah kan kita lewat perhentian lampu merah
atau sebagainya, disitu tidak jarang banyak orang meminta-minta dengan
beserta seorang anak digendongannya. Miris memang, saat usia yang
harusnya diisi dengan bermain dan belajar, malah diajak
berpanas-panasan,.
Kemudian dimana perkara kedurhakaan ini, sebenarnya diposisikan,,?!
-nggak ada yang boleh durhaka- baik dipihak anak maupun orang tua.
Iya, saya (anak) menghormatimu itu pasti tidak perlu dipertanyakan
lagi ini harga mati bagi saya (anak). Karena memang engkau adalah
pendahulu juga berkat engkau kami diadakan, dan merupakan salah satu
ibadah utama kami memuliakan engkau.
Namun tolong juga jangan selalu mempersalahkan kami (anak), kami
malu jika harus memakai label buruk.
-Karena kami masih pemula sebagai pelaku pada muka bumi, minta maklumnya
-karena kalau kejelekan akan selalu dilimpahkan pada kami (anak) dari
mana lagi kami mendapat dukungan di sisi spiritual, tolong maafkan dan
ingatkan kalau kami salah.
Ada satu perumpamaan yang pernah saya dengar dan saya yakin semua
orang pasti pernah mendengar ini.
Secara bagian tubuh,
-anak itu ibarat kaki
-orang tua adalah mata
Perkara normalnya yaitu apabila kaki kesandung mata juga akan
merasakan sakitnya dengan cara mengeluarkan air mata, namun apabila
mata kecolok, kaki hanya bisa diam. Sebenarnya kaki juga punya mata
(mata kaki) hanya saja belum bisa melihat, maka dari itu kaki butuh
fungsi mata agar saat berjalan tidak kesandung dan saat mata
mengeluarkan air mata adalah saat kaki berjalan kemudian bertengger
dipuncak, itu adalah air mata bahagia.
Saling kompak saling bekerjasama mungkin langkah yang bijak dan nyaman.
Apabila saya boleh punya keinginan, Ada satu kalimat yang ingin saya
dengar dari orang tua saya. Seperti kata raja Fillipus 3 kepada
anaknya Alexander (penakluk hebat dan sukses dari makedonia) tatkala
melihat anaknya memiliki satu bakat baik-
"anakku pergilah! cari atau bangun sendiri kerajaanmu, karena kerajaan
ayahmu tak akan cukup besar untukmu" atau skala kecil saya "nak
pergilah! bangun masa depanmu, jangan menyerah tetap tersenyum. Aku
mendukung dan mendo'akanmu"

dan pada akhirnya timbul dalam benak saya, para orang tua itu,,, memposisikan anak sebagai generasi atau ternak!?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline