Karang pecah oleh debur ombak, angin barat bertiup, musim kemarau tiba, senja masih lama, mentari tetap tegak berdiri di atas cakrawala, binatang-binatang berdarah dingin, mengelindap masuk ke sarang masing-masing, bersembunyi, dan bercengkrama dengan sesamanya. Di tengah musim kemarau yang caruk-maruk, nun jauh diseberang sana, berbatasan dengan selat sunda, terdapat sebuah kampung, kampung yang amat terisolir, jauh dari hiruk-pikuk, gemerlap kehidupan duniawi yang mengatasnamakan globalisasi. Kampung Nira itulah sebutannya. Karena saking udiknya dan tidak tersentuh sama sekali dengan yang namanya modernisasi, kehidupan disana masih sangat-sangat sederhana, tetapi menjungjung tinggi keadilan dan kejujuran.
Memperkaya diri sendiri, serakah, individualisme, adalah hal-hal tabu bagi warga Kampung Nira. Coba saja kau letakkan motor mu dengan kunci yang menggantung, lalu kau tinggalkan, percayalah kawan meskipun waktu berlalu, sehari, seminggu, sebulan, setahun, bahkan mungkin satu abad, motor mu tidak akan hilang, percayalah.
Warga Kampung Nira bukannya ingin kaya atau sejahtera, mereka paham makna uang, kekayaan, kendaraan mewah, rumah besar, tetapi tak sedikit pun mereka tergila-gila kepadanya. Bagi mereka kesederhanaan adalah jiwa mereka, kejujuran adalah darah mereka, dan kerendahan hati adalah tulang mereka. Karena sedari dulu nenek moyang mereka telah berprinsip, tanaman mendidik mereka untuk sabar, waktu mendidik mereka agar cekat, kematian mendidik mereka agar rendah hati, tetapi uang mendidik mereka menjadi serakah, sebab itulah mereka tak mau mengambil yang bukan haknya.
Tetapi kawan yang ingin aku ceritakan bukanlah Kampung Nira, dengan segala kesederhanaan dan segala kebaikannya, yang aku ingin ceritakan adalah sebuah kisah cinta sederhana yang berasal dari kampung tersebut. Meskipun tak terekspos oleh media dan dunia, bahkan sejarah tak mencatatnya, boleh lah kalah saing dengan kisah cinta Romeo & Juliet, tetapi percayalah kawan di mata Tuhan, kisah Romeo & Juliet hanyalah picisan cinta belaka, tak ada apa-apanya dibanding dengan kisah yang akan aku ceritakan ini. Yasudah mari kita buka BAB selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H