Autisme dikenal sebagai suatu gangguan mental di mana penderitanya kurang berkoneksi dengan realita karena memiliki alam pikiran dengan realitanya sendiri. Berakar dari kata "auto" ("sendiri"), penyakit ini menunjukkan tanda-tanda terpisahnya penderita dari lingkungan dan kenyataan, menciptakan "dunia baru" dalam pikiran, dan akhirnya hidup tersendiri dalam dunianya sendiri itu.
Jumlah penderita autisme, khususnya anak-anak, disinyalir meningkat tajam tahun-tahun belakangan ini. Ini tentu berdampak buruk. Generasi muda adalah penerus kendali sistem dan masyarakat. Satu insan penerus berkendala, satu potensi bangsa terancam tersia-sia.
Namun, ada ancaman yang tak kalah berbahaya, yang paralel dengan autisme mental, yaitu "autisme sosial".
Alasan pertama autisme sosial ini sangat berbahaya adalah karena ia "incognito", nyaris tiada yang menyadari keberadaannya. Kita hanya mengenal "ketidakpedulian", "individualisme", dan "apatisme". Tapi mengapa orang sampai bisa tidak peduli, individualis, dan apatis?
Sebab ia sengaja memutuskan relasi dengan realitas sosial dan ikatan dengan pranata sosial, lalu menciptakan sistem sosialnya sendiri, dalam mana dia merasa bebas dari kungkungan norma-norma, kemudian me-"raja"-kan ego. Ini cocok sekali dengan definisi "autisme". Ketidakpedulian, individualisme, dan apatisme hanyalah batang tubuh dan gejala klinis dari autisme sosial, akar dan penyakit sesungguhnya.
Cermati saja, sikap hormat orang muda masa kini terhadap yang lebih tua sangat kurang dibanding, paling tidak, dua-tiga dekade yang lalu. Rasa segan dan malu sudah pudar. Orang muda tidak lagi takut pada kewenangan dan pimpinan. Kita terbiasa dengan opini bahwa hal ini terjadi karena "zamannya sudah beda". Apakah perubahan zaman memang harus membentuk generasi muda yang tidak mempedulikan orang lain dan norma, serta tidak menghormati hirarki dan otoritas?
Alasan kedua, karena penyebaran dan proliferasinya sangat cepat dan mudah, dengan tingkat keganasan yang tinggi. Karena tak terdeteksi, autisme ini menjangkiti siapapun dan memperbanyak diri tanpa pencegahan dan perlawanan.
Maka, orang dari segala golongan usia, gender, agama, ras, sosial-ekonomi, dan sebagainya rentan terhadapnya. Apalagi autisme ini dipupuki oleh naluri dasar manusia sendiri untuk mempertahankan diri, yang sejatinya hanya bekerja bilamana ada ancaman yang riil dan rasional.
Alasan ketiga, karena autisme ini bergerak di tingkat paling radikal, menyerang sumsum hakekat manusia sebagai makhluk sosial. Ini suatu proses dehumanisasi.
Alasan keempat, karena walaupun memiliki pola akar yang sama, manifestasi autisme sosial bertolak belakang dengan autisme mental. Seorang autis mental sangat buruk kesadarannya terhadap keberadaan apapun di luar dirinya akibat tereduksinya koneksi dengan dunia luar. Implikasinya, dia menjadi pasif, hiporeaktif, dan iresponsif. Tapi autis sosial tidak. Ia sadar penuh akan keberadaan segala sesuatu.
Koneksi dengan dunia luar normal. Relasinyalah yang rusak. Akibatnya, ia memandang hal-hal di luar dirinya sebagai musuh. Dan karena naluri asasinya untuk bertahan telah terkontaminasi, ia tidak hanya menarik diri, tapi egonya yang merasa terancam kehilangan tahta pun memicu psikomotornya untuk berinisiatif menyerang. Maka, ia menjadi agresif, hipersensitif, dan hiperiritabel.