Tiba-tiba saja itu terjadi. Seperti petir menyambar bumi pada siang hari --padahal saat itu malam, tengah malam, jam 11.20. Wita terbangun dengan dahi dan tubuh penuh keringat. Ada yang membuatnya terjaga tapi entah apa. Seperti mimpi buruk tapi ia tidak merasa bermimpi. Kalau tidak bermimpi, mana mungkin bisa jadi mimpi buruk, bukan?
Limbung kepala membuat Wita tak bisa berpikir. Sejenak dipejamkannya mata. Ah, itu mungkin memang cuma mimpi buruk, pikirnya. Sambil menarik nafas panjang ia meneliti sekitarnya. Di mana aku ini? tegunnya. Dua detik setelahnya ia baru ingat kalau sekarang ia sedang berada di kamar sebuah hotel. Kepalanya lamat-lamat menengok. Lelaki yang di sampingnya tertidur pulas.
Siapa...? Wita tersentak. Lagi-lagi dua detik emas dianugerahkan. Itu Wisnu, bawahannya di kantor yang kini jadi kekasih gelapnya, walau ia sendiri tak tahu apanya yang gelap. Karena Wisnu dan dirinya sendiri berkulit kuning terang. Dan hubungan mereka bukan rahasia di mana pun dan terhadap siapa pun. Pemandangan akan tubuh kekar kekasihnya yang telanjang membuat senyum Wita mengembang, terkenang perbuatan mereka beberapa jam lampau.
Wita kembali meluruskan kepala. Tarik nafas lagi. Diulurkannya kaki turun dari ranjang. Tapi mendadak ia kaget. Ada yang terinjak! Ia mendamprat sejadi-jadinya. Maklum, interupsi demi interupsi mengganggunya semalaman. Ia mencoba melihat apa yang barusan diinjaknya. Namun hanya kegelapan yang terlihat, meski ia sendiri ragu apakah kegelapan dapat dilihat.
Dengan malas ia berjalan ke sisi ranjang. Lampu tidur menyala seketika. Dinyalakan Wita, tentu saja, bukan menyala sendiri! Barulah tampak ada dompet di lantai. Dompet Wisnu. Secara refleks Wita mengambil dompet itu dan membuka untuk melihat isinya. Entah apa yang dicarinya, tapi ia merasakan insting aneh bahwa isi dompet, sesuatu di dalamnya, berhubungan dengan terjaganya dari tidur. Kedengaran absurd? Mungkin. Wita tercenung, lagi-lagi selama dua detik.
Tahu-tahu, tanpa disadarinya, telunjuk dan jari tengahnya mengempit sesuatu di dalam lipatan pinggir sebelah dalam dompet itu. Perlahan Wita menariknya keluar. Aneh, jantungnya berdebar kencang! Keringat semakin deras mengucur. Dan akhirnya.... Ah, ternyata cuma foto! pikir Wita. Ditariknya nafas panjang untuk ketiga kalinya pada malam itu, seraya mengarahkan pandangan pada foto di tangannya.
Belum lagi udara tuntas mengisi rongga paru-paru, sesuatu dalam foto itu menyalakan ledakan dalam otaknya. Laci memori terkuak keluar oleh ledakan yang seperti petir di siang hari, lagi-lagi! Petir dan laci bersinergi mengeluarkan bank memori yang terpendam, kembali pada suatu waktu di siang hari. Ya, betul-betul siang kali ini!
Sang ibu berjalan gontai di jalan desa. Gendongan bawaan di punggung, bungkusan kain di tangan kiri, dan anak perempuannya yang baru lima tahun di tangan kanan.
"Buat apa kita ke rumah Kakek, Mak?" tanya sang anak.
"Kamu tahu 'kan, Wita? Semua ini gara-gara bapakmu!" sergah sang ibu.
Wita kecil tidak mengerti gerutu sang ibu selebihnya tentang suaminya yang kawin lagi; tentang perceraiannya; tentang kembalinya ke kampung, ke rumah ayahnya. Yang Wita tahu cuma satu. Ia tidak suka berada di kampung. Bukan cuma karena ia sudah terbiasa di kota. Bukan cuma karena ia tidak begitu suka pada kakeknya dan nenek tirinya yang suka membentak-bentak. Tapi terlebih karena di sana ada Wito, adik tiri ibunya, yang suka sekali mengganggunya.