Umat manusia di dunia ini sudah berada pada titik-tanpa-balik dari kondisi di mana dinamisasi zaman dan kehidupan tak mungkin lagi tanpa teknologi digital. Lepaskanlah digitalisasi dari hidup kita, maka walaupun kita memang tetap masih bisa hidup, hidup yang kita jalani dan jalankan itu tidak lagi memiliki potensi untuk berkembang, meningkat, dan maju. Karena itulah, saya berlaku dan bergaya hidup selayaknya kebanyakan orang di masyarakat perkotaan, yakni sarat digitalisasi. Berselancar di dunia maya, berkomunikasi menggunakan media-sosial, dan mengakses informasi dari portal-portal berita dalam jaringan internet (daring/online) adalah beberapa di antaranya.
Tetapi, karena sudah cukup lama hidup dengan teknologi digital, saya merasakan juga apa yang semua orang rasakan ketika bergaul dengan kehidupan digital. Yaitu, apa yang saya sendiri juluki sebagai "paradoks digitalisasi".
"Paradoks digitalisasi" adalah sebuah fenomena di mana ketika kita hidup secara digital, kita merasakan sentrifugasi dan sentripetasi secara bersamaan namun terhadap obyek yang posisinya justru berlawanan. Terhadap obyek apapun yang posisinya berjauhan secara relasional dengan kita, baik manusia, makhluk lain, maupun benda dan konsep, kita merasakan adanya tarikan untuk mendekat dengannya.
Jadi, semacam gaya sentripetal. Namun, pada saat bersamaan, terjadi kebalikannya, terhadap obyek apapun yang berelasi relatif dekat dengan kita, kita justru merasakan adanya tarikan untuk menjauh darinya! Jadi, semacam gaya sentrifugal. Dan, pada awal-awal masa digitalisasi menyentuh kehidupan manusia pada kurun tahun 2004-2009, yakni sewaktu internet dan media-sosial bertumbuh dengan begitu cepatnya dari bentuk benih sampai menjadi "pohon yang besar dan tinggi", istimewanya di Indonesia, orang-orang sudah menyadari hal itu. Barangkali, kita, yang pada era tersebut telah mulai mengenal teknologi digital, masih ingat dengan perkataan bernada keluhan dan keprihatinan yang menyatakan, "Internet dan teknologi digital itu mendekatkan yang jauh tetapi justru menjauhkan yang dekat!"
Kita berkeluh-kesah demikian waktu itu gara-gara melihat dan mengalami sendiri, betapa orang-orang yang berada di satu tempat dan bahkan duduk berdampingan bersama keluarganya, para sahabatnya, dan orang yang dicintainya bukannya memanfaatkan kebersamaan tersebut untuk mengeratkan tali kasih dengan orang-orang dekat mereka itu tetapi malah sibuk sendiri dengan perangkat komunikasinya! Mereka memakai gadget tersebut justru untuk berinteraksi dengan orang lain di luar sana.
Memang, mungkin saja yang mereka ajak berkomunikasi itu teman atau keluarga atau orang dekat mereka juga. Namun, juga sama besar kemungkinannya, yang berinteraksi dengan mereka itu justru orang yang belum pernah mereka temui, sebelumnya belum pernah mereka kenal, dan memang baru kali itu mereka kenal! Dan, lebih sedihnya, orang-orang terdekat mereka, entah itu suami atau isteri atau teman atau pacar atau orangtua atau anak, yang berada di tempat dan ruangan yang sama atau bahkan duduk bersebelahan dengan mereka itu pun melakukan yang persis sama!
Tak layak kita pungkiri, fenomena semacam ini membuat hubungan banyak relasi hati menjadi retak! Suami menjadi jauh secara emosional dengan isterinya, demikian pula orangtua dengan anak-anaknya, juga seseorang dengan saudara-saudara kandung dan para sahabatnya.
Di lain pihak, kemajuan teknologi, tak terkecuali dan utamanya teknologi digital, sejatinya dikejar manusia hanya untuk satu tujuan: mempermudah dan memperingan hidup. Itulah tujuan sekaligus karakteristik dari perkembangan dan kemajuan teknologi, khususnya dalam bidang digitalisasi. Bagaimana tidak. Oleh digitalisasi, kita dimungkinkan untuk berbelanja, memesan makanan, menyewa jasa transportasi, membayar tagihan, memesan tiket pesawat, memesan kamar hotel, dan lain sebagainya, bahkan sampai bekerja dan belajar pun, secara online.
Semuanya bisa kita lakukan di mana saja dan dari mana saja untuk tujuan ke mana saja. Wajarnya, hal ini membuat kita jadi bisa mempunyai marjin waktu, energi, dan finansial yang lebih besar. Sehingga, kita bisa lebih banyak waktu dengan pasangan dan keluarga serta untuk bersosialisasi. Kita juga dapat berolahraga secara intens dan leluasa. Pula jadi mampu menabung dan berinvestasi.
Apakah memang seperti itu realita dalam prakteknya? Kita pasti sangat ragu untuk menjawab "ya"! Dan itu memang aneh, tetapi itu nyata!
Digitalisasi justru seolah-olah membuat kita lebih sibuk dan terbebani! Seakan-akan, semakin banyak yang "harus" kita kerjakan. Tambah banyak informasi yang "wajib" kita cari. Makin banyak orang yang "harus" kita ladeni di media-sosial. Semakin banyak video, foto, dan tulisan yang "mesti" kita unggah ke media-sosial. Sementara itu, kian banyak pula landas (platform) media-sosial yang "wajib" kita ikuti. Sehingga, tambah banyak kuota internet yang "harus" kita beli. Semua itu kita lakukan dengan alasan supaya kita tetap mutakhir (up-to-date). Yang sepertinya tidak kita sadari, atau kita sadari namun kita abaikan, ialah kenyataan bahwa alasan tersebut sebetulnya ditujukan hanya untuk diri kita sendiri semata-mata! Sebab, kebenarannya, tidak ada orang dan apapun yang mengharuskan kita melakukan semua itu!