Lihat ke Halaman Asli

Samuel Edward

Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Cita-cita Anak Bergantung Setinggi Kebijaksanaan Orangtua dalam Perencanaan Keuangan

Diperbarui: 11 September 2016   10:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

“Gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit.” Sejak kecil, kita tentu acapkali mendengar pepatah berisi motivasi tersebut. Namun, jalan satu-satunya untuk merealisasikan cita-cita adalah dengan pendidikan. Sedangkan, pendidikan itu tidak murah. Semakin tinggi cita-cita kita, semakin tinggi pula pendidikan yang mesti kita tempuh, sehingga makin banyak pula biaya yang dibutuhkan. Kenyataannya, tak sedikit dari kita yang memiliki orangtua dengan keadaan perekonomian yang kurang mampu saat kita kecil. Sehingga, cita-cita kita pun tak jadi kita gantungkan setinggi bintang di langit. 

Bahkan, yang terjadi kebanyakan, justru cita-cita itu kita buang karena tak ada cita-cita lain yang kita ambisikan selain yang satu itu. Tinggal berjalan dan mengalir mengikuti arus kehidupan seperti air saja. Atau, barangkali ada juga dari kita yang tetap nekad mengusung cita-cita tersebut setinggi bintang di langit, juga berusaha keras mencari segala cara dan jalan untuk mewujudkannya, tetapi tetap tak berhasil, lalu kita frustrasi dan terpaksa menyembuhkan kesedihan kita dengan belajar menerima kenyataan.

Sekarang, sewaktu banyak dari kita yang sudah dewasa, menikah, dan gantian menjadi orangtua, tak jarang kita menjalani kehidupan dengan kondisi keuangan dan ekonomi yang tak berbeda dengan orangtua kita dulu. Sementara, seiring berjalannya waktu, anak-anak kita mulai tumbuh besar, dan mereka pun mulai bercita-cita pula seperti halnya kita dulu. Dan cita-cita mereka juga sama tingginya dengan cita-cita yang pernah kita impikan saat seusia mereka. 

Menjadi dokter, pilot, insinyur, tentara, dan polisi adalah cita-cita yang umum untuk anak-anak pada zaman kita kecil dulu. Mungkin sekarang pun profesi-profesi tersebut masih dicita-citakan anak-anak zaman sekarang, termasuk anak-anak kita. Barangkali, ada tambahannya, seperti ingin menjadi artis, penyanyi, bintang film, model, dan desainer, berhubung banyaknya informasi yang sudah bisa diakses anak-anak yang masih kecil sekalipun.

Kala kita mendengar hal-hal semacam itu dengan anak-anak kita, mungkin kita hanya tersenyum, kemudian membesarkan hati mereka dengan kata-kata formalitas agar mereka belajar yang rajin kalau mau semua cita-cita mereka itu tercapai. Padahal, dalam hati, kita seringnya bukan hanya tidak yakin kalau semua cita-cita mereka itu bisa tercapai, namun justru malah seratus persen yakin bahwa itu takkan pernah dapat tercapai, karena terbentur realita kehidupan ekonomi keluarga kita. Tetapi, kita hampir selalu tidak tega untuk menyampaikannya langsung secara serta-merta pada saat itu juga kepada mereka. 

Namun, pernahkah kita berpikir, kalau kita tidak tega menyampaikan kepada anak-anak kita kenyataan buruk tentang keadaan keuangan orangtua mereka, mengapa kita tidak bisa merasa tidak tega juga untuk membiarkan cita-cita mereka itu kandas dan terempas dari bintang tempat mereka menggantungkannya? Mengapa kita tidak berjuang mati-matian untuk mewujudkan cita-cita anak, setinggi apapun itu? Bukankah itu memang fungsi seorang ayah? Bukankah memang seorang ibu bertanggung-jawab untuk itu?

Dan, kalau kita telaah dalam-dalam, bukankah yang sesungguhnya mendekati kebenaran adalah bahwa bintang di langit tempat anak-anak kita menggantungkan cita-cita mereka itu sebenarnya ialah kebijaksanaan kita dalam menata keuangan keluarga, terutama dalam soal alokasi dan orientasinya bagi pendidikan anak-anak?

Agar kita sebagai orangtua dapat bijaksana mengelola dan menata keuangan keluarga kita, sehingga cita-cita anak-anak kita dapat terwujud, ada beberapa hal yang mesti kita pertimbangkan dalam perencanaan dan yang kemudian mesti sungguh-sungguh kita tindaklanjuti.

  1. Yang paling utama dan menjadi ujung-tombak tentu saja adalah mengambil asuransi pendidikan. Ini adalah keharusan yang paling utama dan mutlak. Tidak bisa ditawar-tawar lagi.

  2. Asuransi pendidikan yang kita ambil itu mesti sesuai jumlah anak. Jadi, kalau kita mempunyai dua anak, misalnya, maka seharusnya kita mempunyai dua asuransi pendidikan, satu asuransi untuk masing-masing anak.

  3. Kita tidak pernah boleh lupa menanyakan apa cita-cita masing-masing anak. Lalu, sesuaikan besarnya uang pertanggungan asuransi pendidikan yang kita ambil dengan prakiraan besarnya biaya pendidikan yang dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Untuk menjadi dokter, misalnya, biaya pendidikan yang harus dikeluarkan pasti berkali-kali lipat daripada biaya pendidikan untuk menjadi akuntan.

  4. Selain cita-cita si anak, dalam menentukan besaran uang pertanggungan asuransi pendidikan anak, kita pun seyogyanya mempertimbangkan inflasi yang terjadi tiap tahun. Umpamanya, cita-cita anak kita adalah menjadi insinyur penerbangan, kalau dihitung dengan tingkat pembiayaan hari ini, jumlah akumulasi biaya pendidikan tertinggi untuk jurusan teknik penerbangan di perguruan tinggi, dengan asumsi perguruan tinggi termahal di dalam negeri, adalah sebesar lima milyar rupiah. Maka, dalam menentukan uang pertanggungan asuransi pendidikan untuk anak kita, tidak seharusnya kita berpatokan pada biaya sebesar itu, tetapi harus sedikitnya sepuluh kalinya, mengingat terjadinya inflasi tiap tahun. Terlebih, kalau anak kita masih berumur di bawah lima tahun (balita), yang berarti, jarak waktu untuk dia sampai berkuliah masih sangat jauh.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline