Lihat ke Halaman Asli

Samuel Edward

Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Cerdasnya Bandung Pertama-tama Haruslah Secara Lingkungan

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelewatan sekali kalau Kota Bandung sampai tidak menjadi kota yang cerdas. Bahkan, sebetulnya bukan sekadar kelewatan, tapi akan celaka sekali kalau “Parijs van Java” tidak kunjung juga jadi kota cerdas. Malah, Bandung sewajibnya menjadi kota pertama yang menjadi kota cerdas sejati. Memiliki kecerdasan kota yang komplet. Cerdas secara ekonomi, cerdas secara sosial, dan cerdas secara lingkungan. Sebab, untuk menilai kota yang cerdas, tentu ada parameternya. Harus ada standar penilaiannya. Pula, perlu ada penilainya. Nah, yang membuat kriteria kota cerdas, yang merancang standar penilaiannya, sekaligus yang juga bertindak sebagai penilai, dan bahkan menjadi pemrakarsa terselenggaranya eventpenilaian kota cerdas berdasarkan indeks kota cerdas Indonesia, salah satunya adalah Institut Teknologi Bandung (ITB).

Oleh karenanya, “menjadi kota yang cerdas” bagi Bandung tidak boleh hanya cita-cita. Apalagi cuma sebatas wacana belaka. “Menjadi kota cerdas” harus menjadi persoalan “hidup atau mati”.

Sekarang, pertanyaannya, bagaimana? Ada 2 “bagaimana”. Pertama, bagaimana cara mewujudkan Bandung menjadi kota yang cerdas dengan cara yang saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya? Kedua, bagaimana wujud yang diinginkan dari “Bandung yang cerdas” itu sendiri, seperti apa nanti Bandung itu saat sudah menjadi kota cerdas?

Pertanyaan pertama dapat terjawab hanya jika pertanyaan kedua telah terjawab. Sebelum mencari cara mencapai tujuan, kita tentu mesti tahu dulu titik tepat dari tujuan tersebut. Juga, pastinya jawaban atas pertanyaan kedua akan sangat beraneka-ragam.

Karena tiap warga dan penduduk Bandung pasti memiliki versi gambaran yang berbeda-beda tentang bagaimana Bandung yang ideal itu. Jadi, jawaban untuk pertanyaan pertama pun pasti banyak macamnya. Yang dideskripsikan di bawah ini adalah imajinasi subyektif saya sendiri tentang kota Bandung yang cerdas. Kota Bandung yang ideal versi saya.

Menurut saya, syarat pertama menjadi kota cerdas adalah bahwa kota itu harus jelas dan teguh dulu identitasnya. Kalau identitas itu belum ada, harus digali. Jika sudah pudar atau belum jelas, harus dipoles dan dipertegas. Bilamana sudah hilang, wajib dicari terus sampai dapat.

1. Bandung kembali sejuk

Nah, kesejukan bukanlah hal sepele di Bandung. Kesejukan adalah jatidiri Bandung Raya, termasuk Kota Bandung.

Apabila Bandung itu penduduknya sudah melek internet semua, seluruh sarana-prasarana transportasinya sudah canggih, seni-budayanya sudah maju dan mendunia, tapi kalau tidak berhasil mengembalikan kesejukan udaranya (meskipun sedikit, karena mungkin agak berat untuk bisa kembali ke tingkat kesejukan yang aslinya), tetap saja Bandung belum menjadi kota yang cerdas. Bukan saja karena salah satu bidang kecerdasan, yakni cerdas lingkungan, belum terpenuhi. Namun, yang lebih utama lagi, karena Bandung belum bisa mengembalikan jatidirinya sebagai kota kesejukan.

Sayang sekali, udara Bandung makin lama makin panas. Peningkatan polusi akibat bertambah banyaknya kendaraan bermotor dan sentra industri (pabrik), penduduk yang semakin padat, serta penurunan jumlah pepohonan dan hutan kota secara drastis adalah hal-hal yang menjadi faktor utamanya. Dan, yang lebih utama lagi: pemanasan global.

Kendati memang sangat berat ditangani pemerintah dan masyarakat Bandung dan Indonesia sendirian, tetap saja kita di Bandung, khususnya, dan Indonesia, umumnya, punya andil dalam terjadinya pemanasan global. Tapi, kita pun bisa menyumbangkan sedikit perbaikannya. Yakni dengan menurunkan tingkat polusi udara, menangani efek buruk kepadatan penduduk, serta menambah jumlah pohon dan hutan kota yang sekalian juga merupakan usaha menambah ruang terbuka hijau.

2. Bandung menghijau lagi

Upaya Walikota Bandung, Ridwan Kamil (Kang Emil), dengan membentuk banyak taman tematik di tengah kota adalah langkah awal yang tepat. Tapi, itu saja tidak cukup. Kang Emil dan jajaran pemerintahan kota, yang terdiri dari Pemerintah Kota Bandung (Walikota, Wakil Walikota, Sekretaris Daerah, beserta seluruh jajaran Pegawai Negeri Sipil/PNS yang tergabung dalam Satuan Kerja Perangkat Daerah/SKPD Kota Bandung) dan DPRD Tingkat II Kota Bandung, seyogyanya tidak berhenti sampai di situ.

Sebab, dalam ruang terbuka hijau, yang penting bukan saja “ruang terbuka”-nya tapi juga “hijau”-nya. Percuma taman bertambah banyak tapi pertambahan pohonnya tidak sebanding. Atau malah justru berkurang. Sehingga taman hanya didominasi rerumputan, semak-semak, dan tanaman hias belaka. Yang ideal, tamannya bertambah satu, pohonnya semestinya bertambah minimal 3 sampai 5 pohon (penambahan itu hanya untuk pohon yang di dalam taman bersangkutan saja). Lebih baik lagi kalau bisa lebih.

Akan tetapi, semua itu takkan pernah dapat menggantikan fungsi hutan kota. Bandung butuh penambahan hutan kota dalam jumlah masif. Tidak hanya untuk mengembalikan kesegaran udaranya. Namun, juga untuk menjadi cagar air dan penangkal banjir. Pula, sebagai fasilitator alami bagi bio-ekosistem, khususnya ragam spesies burung, flora saprofit, dan serangga, untuk mengembangkan dirinya sendiri dalam hal kuantitas dan kualitas.

Hutan kota tidak melulu harus berkumpul dalam satu lokasi yang luas. Mengingat lahan semakin terbatas, terutama lahan kosong, kita harus mencari cara lain. Yaitu dengan hutan sporadis.

Karena kurang berani membayangkan Bandung akan bisa memiliki tambahan 2 hingga 4 hutan kota lagi di lokasi seluas masing-masing minimal 100 hektar, maka saya “cuma” membayangkan lokasi lahan dengan luas hanya 100 meter persegi sampai 1 hektar namun minimal ada 200 lahan. Tersebar di seluruh kota. Dan masing-masing hanya boleh berisikan pepohonan, tidak boleh ada bangunan dan konstruksi apapun sama sekali.

Pepohonan yang mengisinya pun harus melalui tahapan riset, yaitu harus dari spesies yang memang dulu pernah merimbuni area terkait. Sebab, belum tentu suatu area cocok untuk semua tumbuhan, juga suatu tumbuhan belum tentu cocok untuk semua area. Akasia, misalnya, belum tentu cocok dengan kondisi daerah seputar Antapani, Arcamanik, Sindanglaya, Pasir Impun, Cinambo, dan Ujung Berung yang berada di segmen timur kota Bandung.

Lokasi-lokasi tersebut bisa diperoleh dari lahan-lahan kosong dan bangunan-bangunan yang tak lagi terpakai, dibiarkan tak terurus. Di Bandung ini, yang demikian itu mungkin jumlahnya ribuan. Entah itu bekas rumah tinggal, kebun sayur, pabrik, toko, pusat perbelanjaan, gudang, atau yang lain-lain lagi. Daripada dijadikan lokasi syuting untuk acara hantu-hantuan di televisi-televisi, mending semua itu dibeli pemerintah kota.

Bangunannya diratakan dengan tanah, puing-puingnya diangkut keluar, tanahnya kembali digali dan digemburkan, dibuatkan pagar dan tembok yang tinggi dan kokoh untuk mengamankannya dari penyalahgunaan atau pengalihan fungsi atau klaim sepihak oleh oknum-oknum tertentu, barulah ditanami pepohonan dari jenis yang memang dulu secara alami pernah hidup di tanah tersebut.

3. Bandung pionir penggunaan masif bahan-bakar gas (BBG)

Sebagaimana kita tahu, salah satu penyumbang terbesar polusi udara adalah gas buangan dari bahan-bakar minyak (BBM). Lebih-lebih kalau alat atau kendaraan yang menggunakannya sudah tidak lagi prima.

Solusi paling jitu untuk masalah ini tentu saja dengan mencari bahan-bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan sebagai pengganti BBM, serta mengoptimalkan kondisi mesin, terutama mesin kendaraan bermotor. Dan salah satu bahan-bakar alternatif yang banyak dipunyai bumi Indonesia adalah bahan-bakar dari gas alam (BBG).

Alangkah sangat baik andaikata kota Bandung bisa secara menyeluruh menggunakan bahan-bakar selain BBM. Termasuk BBG, yang untuk saat ini ketersediaannya paling banyak dan paling siap guna. Industri, kendaraan bermotor, dan rumah-tangga pun akan menjadi lebih hemat energi dan ramah lingkungan apabila menggunakan BBG.

Pemerintahan Kota Bandung dan P.T. Perusahaan Gas Negara (PGN) perlu segera menyosialisasikan BBG kepada para pelaku industri (khususnya industri otomotif), pengusaha angkutan umum, dan masyarakat luas. Sehingga, dalam waktu sedekat mungkin, BBG dapat menjadi prioritas utama sebagai sumber energi. Untuk itu, penyediaan suplai dan distribusi BBG pun mesti secepatnya diperluas.

Terutama BBG untuk rumah-tangga, dengan cara memproduksi secara besar-besaran tabung gas alam cair yang fungsinya mirip tabung gas elpiji untuk keperluan dapur. Saya pikir, sistem penyaluran BBG dalam wadah tabung itu lebih aman ketimbang sistem penyaluran melalui pipa yang rentan kebocoran.

Penyebarluasan alat konverter (converter kit) untuk dipasangkan pada kendaraan bermotor pun seyogyanya segera digalakkan. Juga perbanyakan stasiun pengisian bahan-bakar gas (SPBG). Semua itu agar masyarakat bisa lekas tertarik dan beralih menggunakan BBG pada motor dan mobilnya. Tapi, mula-mula, kendaraan angkutan umum terlebih dululah yang harus dikonversikan. Seluruh angkutan umum harus menggunakan BBG dalam waktu dekat.

4. Bandung bijak dan hemat energi

Akan tetapi, itu baru sebagian. Tidak cuma harus menggunakan energi yang sifatnya ramah lingkungan seperti BBG. Namun, menggunakan energi pun, termasuk BBG, kita harus hemat dan bijak. Dengan begitu, bukan saja sumber energi dan bahan-bakarnya yang ramah lingkungan, tapi manusia Bandung pun ramah lingkungan.

Air dan listrik harus dihemat penggunaannya. Gaya hidup hemat air dan listrik mesti dibudayakan. Dan gerakan pembudayaan itu memang seharusnya dipelopori dan ditelandankan oleh para pemimpin. Yakni jajaran pemerintahan, musyawarah pimpinan daerah (muspida), dan tokoh-tokoh masyarakat Kota Bandung. Kampanye hemat energi seyogyanya tidak hanya dilakukan pada hari-hari peringatan tertentu. Melainkan setiap bulan, setiap minggu, bahkan setiap hari.

Selain itu, pencarian sumber energi alternatif tidak boleh berhenti sampai puas pada BBG saja. Untuk kebutuhan energi yang sangat besar, umpamanya untuk pembangkit listrik, perlu kita mendayagunakan sebesar-besarnya sumber-sumber energi lain. Utamanya, yang dapat diperbarui. Misalnya sinar matahari dan panas bumi.

Bahkan, kita sebaiknya tidak lagi skeptis, alergi, dan paranoid terhadap sumber energi nuklir. Sudah waktunya keberadaan reaktor nuklir bagi pembangkit listrik di-paradigma-kan sebagai opsi bijak. Sebab, kian tinggi kemajuan peradaban, makin tinggi pula tingkat ketergantungan akan teknologi canggih (terutama teknologi informasi dan komunikasi), sehingga tambah besar pula kebutuhan kita akan listrik. Dan nuklir sampai saat ini masih merupakan sumber energi yang paling dapat diandalkan untuk menyuplai listrik dalam jumlah kapasitas yang bukan main besarnya. Pula, jangan salah. Justru energi nuklir sangat ramah lingkungan. Memang, jika terjadi kecelakaan atau kinerjanya buruk sehingga muncul kebocoran, limbahnya akan mendampakkan kerusakan yang begitu dahsyat terhadap alam. Tapi, kalau kita bisa menjaga reaktor itu tetap dalam keadaan terlindung dan berkinerja optimal, reaktor nuklir justru nyaris tidak menghasilkan limbah.

5. Bandung menjadi bersih

Beberapa tahun silam, kota Bandung pernah mengalami masalah dengan sampah. Sampai-sampai, muncul istilah “Bandung Lautan Sampah”.

Julukan yang teramat menyakitkan hati ini sudah semestinya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintahan dan masyarakat Kota Bandung. Ke depan, seharusnya bukan lagi masalah tersedianya tempat pembuangan sementara (TPS) dan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah saja yang menjadi isu. Kita harusnya sudah selesai dengan semua itu. Yang jauh lebih penting adalah 2 hal.

Pertama, bagaimana supaya kota Bandung bisa menjadi kota yang indah karena sangat bersih. Kita boleh, dan memang sudah sewajibnya, belajar dari kebaikan yang berasal dari manapun. Dalam hal ini, Singapura, kota yang sangat tersohor di seluruh dunia karena kebersihannya yang luar biasa. Kenapa kota-kota di Indonesia tidak bisa seperti itu? Kenapa Bandung tidak mau seperti itu? Menjadi kota di mana kita takkan mungkin mampu menemukan sebutir sampah pun yang berserakan di ruang-ruang publik, apakah itu di jalan, ataukah di sungai dan kali serta danau, ataukah di pasar, ataukah di taman, atau di manapun?

Kedua, bagaimana justru menjadikan sampah “sahabat” kita. Sesuatu yang justru bermanfaat. Ini jelas sepenuhnya bergantung pada pengelolaan sampah. Mendaur-ulang sampah (recycle), mengurangi terlalu mudahnya membuang sesuatu sebab cepat-cepat menganggapnya sampah yang tak terpakai lagi (reduce), di mana itu dilakukan dengan menggunakan atau mengolah kembali barang-barang atau materi-materi bekas menjadi produksi yang kembali bernilai guna (re-use), ialah cara-cara yang paling efektif untuk membuat lingkungan dan kota menjadi bersih dan tak terbebani sampah. Dan semua ini dapat dan harus dilakukan secara bersama-sama oleh semua pihak.

6. Bandung tempat hidup ideal untuk segala makhluk

Bandung adalah salah satu kota yang paling layak untuk kita bisa menjalani hidup seraya menikmatinya juga. Belum lagi karena masyarakatnya yang terkenal ramah-tamah dan murah senyum, sangat membuka hati dan tangan untuk pendatang, serta dengan senang hati mau bersabar terhadap perbedaan adat dan kebiasaan para perantau, khususnya mahasiswa.

Namun, sedihnya, barangkali makhluk selain manusia yang juga sanggup tetap nyaman tinggal di Bandung adalah makhluk sebangsa iblis, setan, dan jin. Malah, bisa jadi, Bandung justru makin ideal untuk mereka dibandingkan bagi manusia sendiri, yang disebabkan semakin diperhatikannya makhluk-makhluk tersebut gara-gara tambah maraknya film dan tayangan televisi berbau mistis, horor, dan dunia gaib. Ditambah lagi, semakin gemarnya masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Bandung, akan hal-hal berbau takhyul dan irasional.

Sangat mungkin saya salah dalam soal yang barusan. Tapi, saya tidak salah jika berkata bahwa selain manusia, sangat susah untuk kita bisa mengatakan makhluk lain itu aman dan nyaman di Bandung.

Di samping manusia dan makhluk non-fisik tersebut di atas, juga selain jasad renik seperti virus, jamur, dan bakteri, hanya tinggal 2 lagi kategori makhluk. Tumbuhan/flora dan satwa/fauna (hewan dan binatang).

Bagaimana nasib tumbuh-tumbuhan, sudah kita lihat dalam poin 2 di atas. Lantas, bagaimana dengan hewan dan binatang?

Kalau kita mau mengukur sejauh mana kepedulian suatu masyarakat dan pemimpin di suatu daerah terhadap fauna, barometernya adalah kondisi kebun binatang yang ada di daerah tersebut. Nah, bagaimana keadaan Kebun Binatang Bandung?

Harusnya, orang pergi ke kebun binatang untuk berekreasi. Mencari hiburan dan kesenangan. Membebaskan dan menyegarkan pikiran dari kepenatan dan beban. Tapi, terus terang saja, saban kali mengunjungi Kebun Binatang Bandung, saya malah terbebani, sedih, dan sakit hati.

Betapa tidak. Pertama, harga tiket masuknya saja luar biasa mahal. Lima kali lipatnya Kebun Binatang Ragunan di Jakarta. Kemudian, sesudah berada di dalam, apa yang saya dapati? Kondisi kebun binatang yang kotor dan terkesan tak terawat. Bukan hanya jalan setapak, tanah, dan kandangnya saja, di mana banyak sampah berserakan di mana-mana. Satwa-satwanya pun jelas terlihat menyedihkan keadaannya. Kurus-kering. Bulu yang kusam. Berpenyakit kulit. Gerak yang lamban dan murung, menandakan kondisi stres. Berjejalan dalam satu kandang yang sempit. Apalagi gajah. Kakinya dirantai, sementara kandangnya sendiri tidak memadai sama sekali untuknya bergerak bebas, apalagi berbaring. Sehingga, kotorannya terinjak-injak oleh sang gajah sendiri.

Berikutnya saya ke sana lagi, apa yang saya temukan? Sepertinya, tidak ada fauna yang jumlahnya bertambah. Beruang grizzlysaja dari tahun ke tahun cuma satu, masih yang itu-itu juga. Justru banyak satwa yang berkurang. Bahkan, beberapa satwa kandangnya sudah kosong, entah karena mati atau dijual atau dicuri atau apa.

Bagaimana mau mencontohkan semangat cinta satwa pada anak-anak yang berkunjung ke sana?

Saya sangat mengharapkan, Kang Emil dan jajaran pemerintahan Kota Bandung mau jauh lebih peduli pada seluruh fauna penghuni Kebun Binatang Bandung dan kondisi kebun binatang itu sendiri. Sebab, kebun binatang sejatinya adalah sebuah konservasi satwa. Tempat satwa terjaga kelestariannya. Syarat mutlak untuk lestari adalah berkembang-biak. Dan syarat untuk dapat berkembang-biak adalah harus sehat dan fit.

Takkan pernah Bandung menjadi kota yang cerdas selama kebun binatangnya masih teramat memprihatinkan semacam itu. Lagipula, tidak boleh hanya aspek bisnis yang dipikirkan. Yang jauh lebih utama lagi, selain aspek kelestarian lingkungan, adalah aspek pendidikan dan hiburan. Oleh karena itu, harga tiket masuk Kebun Binatang Bandung harus diturunkan jauh. Kalau Kebun Binatang Ragunan yang jauh lebih layak dan luas saja ongkosnya tidak lebih dari tiga ribu lima ratus rupiah, biaya masuk yang cukup wajar untuk Kebung Binatang Bandung setidaknya adalah tiga ribu rupiah.

7. Bandung serba digital dan serba real-time

Kang Emil sudah tepat dan bagus dalam hal memperjuangkan Bandung sebagai kota yang seluruhnya terliputi jaringan internet WiFi. Dengan demikian, warga dan penduduk Bandung didorong dan dipacu gairahnya untuk melek internet dan terus memaksimalkan penggunaan internet bagi kemajuan diri.

Namun, harus lebih dari itu. Kondisi serba digital dan serba real-timeharus meliputi semua bidang. Contohnya, di setiap ruas jalan besar, semestinya dipasangkan layar LCD flyeryang mencantumkan kadar oksigen, karbondioksida, dan zat-zat berbahaya di udara, berikut kadar maksimal yang dapat ditoleransi bagi kesehatan. Dan pada flyertersebut juga mesti tertera suhu dan tekanan serta tingkat kelembaban udara, kecepatan angin, bahkan juga informasi lalu-lintas dan jalur-jalur hotline“satu pintu”.

Budaya birokrasi “satu pintu” ini vital sekali. Jadi, semua orang bisa mengurus izin mendirikan bangunan (IMB), nomor pokok wajib pajak (NPWP), surat izin usaha dan perdagangan, dan sebagainya, juga bisa melaporkan dan menanyakan pelbagai hal (informasi situasi lalu-lintas, informasi jalan menuju suatu tempat, informasi tindak kriminal, informasi posko bencana, dan lain-lainnya) hanya dengan menghubungi jalur-jalur berupa nomor telepon, alamat surat elektronik (email), nomor kontak SMS, nomor WhatsApp, pin BB, dan akun-akun media sosial tertentu saja. Kesemua jalur hotlinetersebut bukan jalur-jalur untuk “pintu-pintu kamar” yang berbeda-beda . Melainkan hanya alternatif-alternatif jalur hotlineyang muaranya hanya di satu “pintu” dari satu “kamar” saja. Dan semua jalur itu harus berfungsi 24 jam penuh dan 7 hari seminggu, non-stop.

Pemasangan CCTV juga harus masif. Di jalan-jalan raya, di jalan-jalan perumahan, di perkampungan, di gang-gang kecil, di seluruh gedung perkantoran dan perdagangan, di seluruh pasar dan toko serta swalayan, di seluruh rumah-sakit dan puskesmas serta klinik, di semua sekolah dan kampus, di semua fasilitas umum seperti kebun binatang dan taman tematik. Intinya, di semua tempat. Selain untuk menjamin keamanan dan rasa aman masyarakat, juga untuk memantau selama 24-7 (24 jam sehari, 7 hari seminggu penuh) kondisi pohon-pohon apakah mulai ditumbuhi jamur atau belum, kondisi satwa-satwa di kebun binatang apakah baik-baik saja atau ada keanehan, serta kondisi-kondisi lainnya.

Bila kondisi lingkungan sudah nyaman karena kecerdasan kota Bandung secara lingkungan sudah tercapai, maka barulah kita bisa lebih leluasa bicara urusan dan kecerdasan sosial. Dan kemudian, sesudah itu, barulah masalah dan kecerdasan kota secara ekonomi dapat jauh lebih mudah disolusikan dan dikonklusikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline