Lihat ke Halaman Asli

Samuel Edward

Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tantangan Asuransi Syariah

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Ekonomi Syariah hadir untuk menjawab kegamangan umat Islam terhadap derajat kesesuaian sistem-sistem perekonomian yang berlaku secara konvensional di seluruh dunia dengan Syariah Islam. Dengan semakin banyaknya insan di dalam dunia Islam yang terpelajar, wawasan yang terbuka di antara mereka pun menyadarkan akan sifat seluruh sistem ekonomi dunia yang secara kentara sekali telah didominasi tata-nilai kapitalisme. Sesuatu yang juga kemudian disadari umat Islam sebagai hal yang banyak sekali mengandung pertentangan dengan ajaran Islam. Segala macam genre dunia usaha dan industri, baik di sektor riil maupun jasa, apakah itu manufaktur, perbankan, kuliner, asuransi, otomotif, komputer, elektronika, perniagaan, garmen, ataukah berbagai sektor lainnya, mulai dari hulu hingga ke hilir, baik yang termasuk kelompok produksi maupun termasuk sistem distribusi dan penjualan, seluruhnya berorientasikan profit (serta, sebagai konsekuensinya, mengandalkan modal [kapital]) finansial dalam jumlah besar. Iklim seperti ini sudah bisa dipastikan kian menyempitkan ruang untuk pertimbangan moral dan martabat kemanusiaan semisal dorongan hati nurani untuk menjaga agar tidak ada orang atau bagian lingkungan yang dikorbankan, juga niat mulia untuk mencari cara agar semua pihak yang terlibat bisa mendapat keuntungan karena tidak ada yang dipandang sebagai musuh atau saingan yang harus dijatuhkan. Kondisi kapitalistis, yang terkesan bertendensi menghalalkan segala cara demi meraup keuntungan dan kemakmuran sebanyak mungkin, seperti itu tidak hanya berlawanan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam Islam, namun juga berlawanan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam semua agama, keimanan, dan keyakinan spiritual. Karena, memang, sekali lagi, iklim kapitalistik amat banyak ketidakcocokannya dengan standar kehidupan manusiawi yang luhur.

Dengan demikian, Ekonomi Syariah sangat baik direspon di seluruh dunia. Utamanya, di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Termasuk di Indonesia. Dan salah satu bidang Ekonomi Syariah yang paling pesat perkembangannya di Indonesia dan di seluruh dunia adalah Asuransi Syariah.

Pada 30 Agustus 2014 lalu, P.T. Sunlife Financial Indonesia, perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan jasa asuransi, bekerja sama dengan Kompasiana mengadakan acara semi-seminar "Kompasiana Nangkring Bareng Sun Life" bertemakan "Kenapa Harus Asuransi Syariah?". Narasumbernya Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A. (Ketua Dewan Pengawas Syariah [D.P.S.] dari Unit Syariah Sun Life) dan Ir. Hj. Srikandi Utami (Head of Shariah Sun Life). Event tersebut semakin memperjelas kebaikan-kebaikan dan keuntungan-keuntungan Asuransi Syariah dibandingkan asuransi konvensional, ditinjau dari aspek keimanan dan moral Islam. Nilai utama ke-Islam-an yang menjadi tolok-unggul Asuransi Syariah adalah saling tolong-menolong menanggung beban bersama antar-manusia. Premi yang disetorkan nasabah bukanlah sebagai pembayaran sang nasabah atas jasa perusahaan asuransi dalam mengambilalih resikonya, sebagaimana yang diterapkan asuransi konvensional, melainkan bersifat dana hibah, yang digabungkan dengan dana hibah nasabah-nasabah lain, dan kemudian dikelola/diinvestasikan oleh perusahaan Asuransi Syariah. Dari nilai utama Islam inilah diturunkan nilai-nilai luhur lainnya, yang pastinya juga sesuai dengan Syariah Islam. Pertama, bersifat jujur dan terbuka (transparan) dalam hal pengelolaan dana-dana hibah oleh pihak perusahaan asuransi. Kedua, mengeliminir ketidakpastian (gharar) dalam transaksi, pembayaran, dan tanggung jawab masing-masing pihak, baik penanggung maupun tertanggung, sehingga, dengan demikian, mengeliminir pula unsur perjudian/pertaruhan akibat ketidakpastian itu (masyir), serta, karena premi yang terkumpul tidak diinvestasikan di dalam sistem perbankan konvensional yang memberikan bunga, melainkan diinvestasikan dalam sistem yang juga Syariah, maka unsur riba pun dihilangkan: ketiga hal yang memang dilarang dalam Islam. Plus, setelah kedua nilai luhur tadi, masih pula ada keuntungan lain berupa pembagian laba underwriting hasil dari investasi dana-dana hibah nasabah (tabarru') kepada para nasabah itu sendiri.

Islam adalah agama yang rahmatan lil'alamin. Menjadi rahmat atas sekalian alam. Karena itu, nilai-nilainya haruslah menggarami seluruh dunia. Termasuk dunia non-Islam. Sebab, memang nilai-nilai Syariah tersebut adalah kebenaran yang sejati, dan kebenaran adalah universal, tidak dibatasi sekat agama dan apapun. Dalam agama apapun, kebenarannya tetaplah sama. Contoh, dalam Kekristenan, hukum yang terutama adalah hukum kasih: mengasihi Tuhan dengan segenap hati, akal, dan jiwa, juga mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri kita sendiri. Perjudian, kepalsuan, ketidaktransparanan, ketidakpastian, dan bunga yang tidak halal pun ditabukan di dalam iman Kristen. Pula di agama-agama lain.

Pada saat bersamaan, ini pula yang menjadi tantangan Asuransi Syariah.

Pertama, dengan sifat Islam yang rahmatan lil'alamin, harusnya, keuntungan-keuntungan dan kebaikan-kebaikan Asuransi Syariah pun boleh, dan bahkan seharusnya, dinikmati juga oleh kalangan agama lain. Hanya saja, persoalannya berbeda antara kenyataan lapangan dengan idealisme konsep atau teori. Realitanya di lapangan, masih hampir semua umat non-Islam yang takkan pernah berpikir untuk memilih Asuransi Syariah sebagai investasi asuransinya. Macam-macam alasannya, dan semuanya memang dapat diterima. Takut akan sinkretisme (percampuran esensi agama yang satu dengan agama yang lain dalam hal akidah), kuatir akan jebakan Islamisasi (pemaksaan atau penjebakan secara halus untuk masuk agama Islam), serta juga skeptis akan penolakan dari orang Islam sendiri, khususnya yang bekerja di perusahaan Asuransi Syariah tersebut. Dan, untuk yang terakhir ini, faktanya memang marak yang demikian. Resistensi hebat justru juga datang dari dalam Asuransi Syariah sendiri. Jelas, amat jarang sekali para agen atau staf pemasaran Asuransi Syariah yang menolak secara mentah-mentah calon nasabah yang beragama bukan Islam yang hendak membeli jasa Asuransi Syariah. Juga, sangat jarang sekali pula secara terang-terangan perusahaan atau unit Asuransi Syariah melarang perekrutan agen dan staf pemasaran dari kalangan non-Islam. Namun, sekali lagi, fakta lapangan mengungkapkan lirih adanya penolakan-penolakan secara luar biasa halus. Agen akan mengarahkan calon nasabah non-Muslim tersebut untuk membeli produk asuransi lain yang ditawarkan oleh perusahaannya, yaitu yang konvensional. Bagian personalia dan bagian pelatihan/perekrutan agen akan menggiring calon agen yang tidak beragama Islam itu ke kelas yang melatih agen untuk asuransi konvensional. Jadi, adalah tantangan bagi Asuransi Syariah, khususnya di Indonesia, termasuk Sun Life Syariah, untuk mencari solusi bagi halangan-halangan dan hambatan-hambatan di atas, baik yang terdapat dalam paradigma kaum non-Muslim maupun yang menjadi pola pikir umat Islam sendiri, istimewanya umat Islam yang menjadi bagian internal Asuransi Syariah.

Kedua, karena mestinya menggarami dunia non-Muslim, nilai-nilai dan prinsip-prinsip syariah pun idealnya boleh secara bebas diterapkan oleh perusahaan-perusahaan asuransi yang tidak berdiri di bawah bendera dan nama "Syariah", serta tidak tergolong perusahaan yang Islami. Artinya, perusahaan-perusahaan asuransi konvensional pun bisa mengeluarkan produk asuransi yang menggalang premi sebagai dana hibah gotong-royong antar-nasabah, yang lalu diinvestasikan dalam lapangan usaha yang memang tidak mengandung unsur spekulasi, ketidaktentuan, ketidaktransparanan, dan pencarian laba dari meribakan uang, serta juga membagikan hasil keuntungan investasi itu kepada para nasabah (yang, sejatinya, adalah para investor juga). Namun, kenyataannya, perusahaan-perusahaan asuransi yang memiliki cabang atau unit syariah, teristimewa di Indonesia, tidak menerapkan prinsip-prinsip syariah itu pada produk asuransi konvensional mereka sendiri. Hal ini menandakan, dualisme konvensional dan syariah itu bukan hanya terjadi secara prinsip saja semata, sebagaimana yang memang seharusnya, namun masih terjadi dalam ranah fisik dan kostum entitas. Kalau tidak memakai emblem Islam atau bendera "Syariah", sesuatu produk atau unit atau perusahaan asuransi adalah terlarang untuk menerapkan prinsip syariah. Maka, itu juga artinya, semua produk atau unit atau perusahaan asuransi yang menerapkan prinsip-prinsip syariah di atas wajib menamakan dirinya "Asuransi Syariah", tidak boleh tetap berada di jalur "sekuler" dan konvensional dalam hal nama dan identitas. Kondisi seperti ini, pelak sekali, sangat menghambat penyebarluasan poin-poin kebenaran yang justru wajib dilakukan Islam sendiri, selain juga jadi mengecilkan dan menafikan sifat rahmatan lil'alamin-nya. Tantangan bagi Asuransi Syariah, termasuk Sun Life Syariah, untuk merumuskan jawaban atas permasalahan kesalahkaprahan seperti itu, sehingga kebenaran universal yang diusung dan sifat rahmatan lil'alamin Islam dapat kembali bebas, tidak lagi terkungkung oleh sekat-sekat entitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline