Lihat ke Halaman Asli

Samuel Edward

Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

(Bikin) "Kiamat" Gara-gara Gas Elpiji 12 kg Naik

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di minggu kedua September 2014, Pertamina resmi menaikkan lagi harga gas LPG (elpiji) 12 kilogram (kg) menjadi Rp103.700. Itu adalah harga dasar, harga dari Pertamina langsung. Sedangkan di pasaran, harganya secara umum berkisar antara Rp105.000 hingga Rp110.000. Dengan harga sebelumnya yang umumnya sekitar Rp95.000 sampai Rp100.000, berarti kita perlu mengeluarkan Rp10.000 lebih banyak lagi per tabung. Dalam pemakaian normal, satu rumah-tangga beranggotakan 5-7 orang bisa menghabiskan rata-rata satu tabung setiap bulannya. Sementara, untuk usaha kuliner, pemakaiannya tentu lebih banyak lagi, sedikitnya 2 tabung per bulan. Jadi, rata-rata satu keluarga harus menambah anggaran belanja untuk membeli gas elpiji 12 kg sebesar Rp10.000, dan pengusaha rumah makan, warung nasi, restoran, dan sebagainya itu mengalami kenaikan pengeluaran sedikitnya Rp20.000.

Sampai dengan tahun 2016, Pertamina akan terus menaikkan harga gas elpiji 12 kg itu tiap setengah tahun sekali. Hal ini untuk mengatasi kerugian yang terus dialami Pertamina akibat beban yang ditanggungkan pemerintah pada badan usaha milik negara (BUMN) tersebut untuk mensubsidi gas elpiji. Suatu kewajiban yang aneh, karena sesungguhnya, secara hakekat, bukanlah pemerintah dan negara yang memberi subsidi, melainkan Pertamina. Alhasil, dalam kurun 2009-2013, Pertamina harus mengalami kerugian sekitar 17 trilyun rupiah lantaran subsidi tersebut. Belum lagi di sepanjang tahun 2014 ini. Apalagi bilamana harga minyak dunia dan nilai tukar dolar Amerika terhadap rupiah naik. Lebih-lebih, mengingat penggunaan gas elpiji 12 kg itu sendiri yang terus meningkat. Sehingga, untuk mengatasi kerugian yang terjadi terus-menerus, yang pasti semakin menyusahi dalam membiayai operasional perusahaan, BUMN di bidang pertambangan minyak tersebut mau tak mau harus menaikkan terus harga gas elpiji 12 kg hingga sesuai dengan harga keekonomian, harga yang memang sesuai dengan modalnya, yakni kurang-lebih Rp175.900 per tabung.

Pengguna gas elpiji tabung 12 kg itu hampir seluruhnya adalah kalangan ekonomi menengah ke atas. Maka, secara keuangan, sebetulnya kenaikan harga yang diskenariokan bertahap seperti itu pastilah tidak signifikan sama sekali untuk dikategorikan sebagai beban yang semakin memberati hidup dan kelangsungan bisnis. Dan, tentu saja, seharusnya, masyarakat dari kalangan ekonomi bawah bisa dikatakan tidak terdampak apa-apa. Tapi, kenyataan di lapangan hampir selalu tak sejalan dengan teori. Meski sedikit, tingkat inflasi tetap mengalami pelonjakan, sehingga membuat harga-harga, istimewanya harga kebutuhan pokok, mengalami kenaikan juga walau memang tidak semua dan, sekali lagi, tidak banyak. Namun, kenaikan harga tetaplah kenaikan harga. Bagi kaum ekonomi lemah, kenaikan harga adalah momok, sebab tanpa harga-harga naik pun hidup mereka sudah susah akibat sumber daya finansial yang kurang.

Hal tersebut bisa terjadi justru oleh perilaku pengguna elpiji 12 kg sendiri. Pengguna elpiji 12 kg adalah orang-orang golongan menengah ke atas. Sebagian besar dari kita yang menggunakan gas 12 kg ini adalah pelaku bisnis kelas kakap. Orang-orang yang menguasai bisnis hulu hingga hilir. Ada yang menjadi bandar, distributor, bahkan sekaligus grosir dan malah tak jarang menjadi pengecer beras. Ada pula yang melakukan usaha di bidang impor, penampungan, pengepakan, distributor, sekaligus juga penyuplai besar daging sapi dari dalam dan luar negeri. Dan di bidang-bidang usaha lainnya juga seperti itu. Sebagai orang yang terbiasa dengan prinsip ekonomi karena memang hidup dan mengisi kehidupan dengan kegiatan ekonomi secara masif, kita memiliki 2 kecenderungan. Yang pertama adalah kecenderungan yang benar dan baik, serta memang sudah sepatutnya dimiliki semua manusia. Sedangkan yang kedua adalah kecenderungan yang jahat dan buruk, yang mestinya tidak dilakukan manusia yang berkepribadian luhur. Kecenderungan pertama itu adalah dorongan untuk selalu maju, senantiasa ingin mengalami peningkatan. Itu sehat dan sudah seharusnya. Namun, kecenderungan yang kedua adalah godaan keserakahan. Saat kecenderungan yang kedua ini timbul di hati, ia akan mengontaminasi kecenderungan pertama yang bagus tadi, memanipulasinya sebagai kedok untuk membenarkan tindakan kita yang sebetulnya salah dan merusak. Kenaikan gas elpiji 12 kg sama sekali tidak membuat kita yang berposisi sebagai penguasa bisnis hulu dan hilir di republik ini menjadi rugi. Sama sekali tidak. Bahkan, laba yang kita peroleh dari usaha kita pun sangat mungkin tidak berkurang sama sekali pula. Kecuali, beberapa dari kita yang bergerak di bidang kuliner, yang memang serba salah, jika menaikkan harga makanan yang kita jual, maka pelanggan akan banyak yang kabur, sementara kalau kita tetap bertahan dengan harga sebelumnya, keuntungan kita jelas akan berkurang, berhubung biaya operasional telah sedikit meningkat akibat kenaikan harga gas elpiji 12 kg yang dipakai di restoran kita. Itu pun sebenarnya sama sekali bukan kerugian, hanya penurunan sedikit dari keuntungan. Apalagi bagi beberapa di antara kita yang bekerja bukan di bidang makanan. Hanya jatah tabungan rumah-tangga kitalah yang sedikit berkurang, berhubung mesti terpakai 10 sampai, separah-parahnya, 30 ribu rupiah sebulan. Sedikit saja. Nyaris tidak berarti apa-apa, sebetulnya, dibandingkan jatah tabungan kita yang mungkin mencapai di atas 10 juta rupiah per bulannya. Tidak sampai satu persen. Yang itu pun bisa lekas terkompensasi apabila pendapatan kita terus meningkat. Akan tetapi, secuil pengurangan jatah tabungan itu saja sudah lebih dari cukup mengobarkan nafsu serakah dan tamak kita, yang menginginkan lebih dan lebih lagi, dengan berkedokkan alasan yang sepertinya dapat dibenarkan seperti: "kita, manusia, harus mengalami peningkatan terus, bukannya penurunan, termasuk dan teristimewa dalam soal pemasukan ke kantong kita!".

Dorongan rusak seperti itulah yang menyebabkan kita menaikkan harga komoditas yang kita jalankan dalam bisnis kita, entah itu beras, gula, terigu, daging, cabai, bawang merah, bawang putih, bumbu-bumbu lainnya, bahan-bahan sembako lainnya, onderdil barang elektronik, suku cadang kendaraan bermotor, atau lain sebagainya. Karena, kita sadar sepenuhnya, kitalah yang menguasai pasar dan harga. Bahkan, sebagian dari kita bergabung, membentuk kartel dan sindikat, sehingga makin tergantunglah harga pasar pada kita dan sindikat kita. Kita nyaris tak pernah ingat, atau kalaupun ingat, tidak peduli, akan kesulitan saudara-saudara kita dari kalangan ekonomi lemah, yang pasti akan jadi bertambah akibat harga-harga yang kita naikkan. Kita lupa diri bahwa kita sebetulnya tidak rugi apa-apa, lupa bahwa doa orang yang teraniaya itu sangat manjur, juga lupa bahwa tindakan kita menaikkan harga itu cepat atau lambat akan menampar kita sendiri.

Dalam hal ini, pemerintah seharusnya tegas dan punya pendirian, mesti taat pada Pancasila dan konstitusi. Tapi, sayangnya, dari rezim ke rezim, pemerintah di republik ini sepertinya membiarkan fobia dan paranoid akan 2 hal menguasainya, sehingga takut membuat regulasi yang tidak kapitalistis-liberalistis dan kemudian konsisten menegakkannya. Pertama, ketakutan akan terjadinya pelarian modal ke luar negeri oleh para pelaku bisnis di negeri ini, terutama yang berkelas kakap, jika pemerintah dianggap terlalu campur tangan dan mengekang bila melakukan pengendalian harga-harga. Kedua, ketakutan akan tercorengnya reputasi dan konduite di bidang ekonomi dan keuangan apabila harga-harga tidak dibiarkan bebas total sesuai arus pasar. Padahal, pemerintah memiliki otoritas dari rakyat untuk melakukan segala hal yang benar dan pantas sesuai perintah Pancasila dan UUD’45, yang mengusung sistem ekonomi yang adil dan memprioritaskan peningkatan taraf hidup kaum lemah demi meningkatkan taraf hidup semua golongan. Pula, pemerintah pun bukannya tidak tahu, bahkan di negara-negara maju yang kapitalis dan liberalis seperti Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa, Jepang, Australia, Singapura, dan Korea Selatan sekalipun tetap melakukan pembatasan-pembatasan dan pengendalian harga di sektor-sektor tertentu, terutama di sektor yang vital, tidak semua diliberalkan, dibiarkan bebas lepas total menurut arus pasar.

Sudah saatnya Pemerintah Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya pemerintah dan DPR yang baru, yang akan dilantik nanti, jauh lebih berani dan adil. Peraturan perundang-undangan yang liberal di lapangan perekonomian harus direvisi supaya kembali berjiwakan Pancasila. Pemerintah harus tidak boleh ragu menetapkan limitasi pada harga-harga, terutama harga-harga kebutuhan pokok. Serta tindakan-tindakan lain yang semua sifatnya sama, melindungi kaum lemah dan mencegah kaum menengah ke atas untuk bertindak serakah. Harga elpiji 12 kg yang akan terus naik sampai akhir tahun 2016 nanti bukanlah alasan yang masuk akal dan dapat diterima bagi kita dari kalangan mampu, terutama yang sangat mampu sehingga bisa menguasai pasar, untuk bertindak seenaknya menaikkan harga, yang berarti tambah menyusahkan orang-orang miskin yang memang hidupnya sudah sangat susah. Kenaikan harga elpiji 12 kg tidak cukup kuat membuat "kiamat" bagi kita, mengapa kita menjadikannya "kiamat" buat mereka?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline