Dulu saya hampir tidak pernah mempertanyakan apa yang terjadi pada saya jika saya sudah purna tugas (pensiun) dari pekerjaan saya saat ini sebagai seorang pegawai negeri. Ya, hal seperti ini barangkali belum terasa relevan bagi mereka yang masih berusia di bawah 30 tahun bahkan di bawah 40 tahun.
Namun setelah menjalani lebih dari 17 tahun sebagai seorang pegawai negeri, kini saya mulai menyempatkan diri untuk berpikir atau merenungkan hal-hal terkait masa pensiun saya.
Jika Tuhan berikan rejeki dan umur, maka saya hanya punya sekitar 16 tahun lagi untuk menyandang status sebagai abdi negara ini. Artinya, saat ini sudah lebih 50% dari masa bekerja sebagai pegawai negeri telah saya lewati.
Renungan saya barangkali semakin kuat manakala menyadari bahwa para senior saya ketika saya baru menjadi pegawai negeri (tahun 2006), satu per satu mereka sudah memasuki usia pensiun.
Dan saat-saat dimana kami bisa bertemu pun menyadarkan bahwa kami sudah tidak lagi semuda sepuluh-lima belas tahun lalu. Semangat memang masih muda, namun fisik kami tidak bisa lagi dibohongi.
Bagi yang sudah berkeluarga, anak-anak pun kini sudah semakin besar. Dalam bekerja, cara berpikir, atau secara karir pun sudah semakin matang, banyak pertimbangan, dengan jam terbang yang tidak lagi sedikit. Sehingga memang (suka tidak suka) hal-hal terkait masa pensiun tidak lagi boleh dianggap sebagai remeh temeh atau dipikirkan hanya sambil lalu saja.
Faktanya, waktu memang tidak bisa kita tahan (apalagi untuk diulang), dan jika sejak sekarang kita tidak bijak menyikapinya, bukan tidak mungkin penyesalanlah yang kelak akan kita terima.
Dari beberapa diskusi ringan dari para senior, saya menangkap kesan bahwa masa pensiun masih dianggap sebagai sesuatu yang kurang menyenangkan, meskipun ada sebagian yang terang-terangan mengatakan ingin segera pensiun dini (menurut saya argumen mereka tentang ini tidak begitu kuat dan lebih sering cenderung emosional).
Persoalan mendasarnya sebagaian besar terkait dengan penghasilan di masa pensiun yang pastinya jauh berkurang dibandingkan ketika masih aktif bekerja, yang mana hal ini berdampak kepada hampir seluruh aspek kehidupan. Tidak sedikit pula di antara mereka (yang saya dengar) belum memiliki rencana secara spesifik mengenai apa yang akan mereka lakukan setelah pensiun.
Setidaknya potret tersebut tergambar dari data-data yang ada. Misalnya sebuah artikel menceritakan hasil survei dari sebuah perusahaan asuransi menunjukkan bahwa hanya 54% orang yang mengaku sudah menyusun rencana spesifik apa yang akan dikerjakan setelah pensiun.