Lihat ke Halaman Asli

samuel purba

PNS, pemerhati sosial

Visi yang Rendah Hati

Diperbarui: 13 Juli 2016   12:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: belitung.tribunnews.com

Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan berkunjung ke rumah keponakan saya. Dia termasuk anak yang berprestasi secara akademik di kabupaten tempat mereka tinggal di Sumatera Utara. Sejak tingkat SD sampai SMA hampir selalu meraih rangking tiga besar di kelasnya. Tak jarang pula menjadi juara umum di sekolahnya.

Saat saya kunjungi, dia terlihat kurang bersemangat. Ternyata dia tidak lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri tahun ini. Karena orang tuanya bukan orang berada, mereka hanya sanggup menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi negeri, karena tidak sanggup membiayai di PTN swasta. Alhasil keponakan saya tersebut selama setahun ke depan bakal berstatus sebagai pengangguran, sambil mempersiapkan diri menghadapi seleksi di tahun depan. Itulah yang membuatnya kehilangan semangat.

Saya sempat bertanya mengapa bisa tidak lulus. Ternyata keponakan saya ini cukup ambisius dalam menentukan pilihan jurusan dan PTN. Seluruh jurusan dan PTN yang diincarnya adalah PTN terbaik di Indonesia yakni ITB dan UI dengan pilihan jurusan yang terbaik. Saya bertanya mengapa tidak menjadikan PTN di Sumut menjadi salah satu pilihan? Alasannya PTN Sumut bukan levelnya.

Saya cukup tersentak dengan jawaban tersebut. Bagi saya secara pribadi, jika kita berasal dari kampung dengan karakteristik lokasi tempat tinggal dan kondisi keluarga, maka berkuliah di PTN terbaik di Kota Medan adalah pilihan yang sangat logis dan terbaik.

Kampus seperti USU (Universtas Sumatera Utara) maupun Unimed (Universitas Negeri Medan) bukan kampus yang jelek, dan terbukti banyak alumninya yang sudah berhasil di seluruh wilayah Indonesia. Meskipun saya banyak memberi masukan, sampai saya meningalkan rumah tersebut, keponakan saya tetap bersikukuh bahwa dia harus melanjutkan pendidikan ke PTN terbaik di Jawa.

***

Kisah keponakan saya tersebut membuat saya lama merenung. Saya tidak menyalahkan impiannya (visi) untuk mendapatkan pendidikan terbaik di Jawa. Namun saya melihat visi tersebut melompat terlalu jauh. Ada rasa overconfidence di dalamnya, kalau boleh saya sebut sebagai keangkuhan.

Yang membuat saya lebih heran adalah karena keangkuhan tersebut datang dari keponakan saya yang berasal dari keluarga kurang mampu. Kasarnya, ternyata orang miskin juga bisa (maaf) sombong. Sempat saya berpikir faktor apa yang mempengaruhinya berpikir sedemikian. Apakah niat untuk membuat bangga keluarga atau kuatnya hasrat membuktikan kepada banyak orang lain bahwa dia mampu secara akademik? Keinginan yang sedemikian kuat untuk segera keluar dari kemiskinan?

Saya sama sekali tidak menyalahkan harapan atau impian yang tinggi. Bak kata orang pintar kita harus menggantungkan keinginan setinggi bintang-bintang di langit. Namun bagi saya pribadi, visi juga harus berpijak dari realita. Visi harus mau melihat berbagai peluang dan kesempatan yang saat ini lebih terbuka. Dia tidak langsung melompat ke tempat yang jauh.

Dia juga mesti mau melangkah di jalan-jalan yang kecil dahulu, kemudian semakin lama makin melangkah ke jalan-jalan besar dan panjang. Intinya visi juga mesti rendah hati. Mau dengan lapang hati mengukur kapasitas diri dan melihat lebih dalam kebutuhan dan keinginan orang-orang terdekat.

Ketika kita mempunyai impian yang besar, bukankah harus dimulai dari yang kecil dahulu?  Di saat ada jalan yang sudah terbuka, meskipun tidak sepenuhnya seperti yang kita harapkan, mengapa mesti memaksakan diri melalui jalan besar yang masih belum tahu kapan bisa dilewati. Toh pada saatnya kita juga akan tiba di jalan besar tersebut setelah melewati jalan-jalan yang kecil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline