Ruangan gawat darurat anak-anak......
Amarahku memuncak hari itu, seiring dengan adrenalin yang mendidih memacu jantung berdegup kencang, menyeret emosiku melewati ubun-ubun. Air mataku mengucur di samping ranjang rumah sakit, ketika semua panca indera bekerja keras untuk menyelamatkan tubuh mungil berumur kurang dari sebulan yang tergolek lemah di hadapanku. Bayi mungil itu sedang berjuang untuk bertahan hidup, sementara raga nya berontak ingin lepas meninggalkan tubuh fana yang digerogoti kesakitan. Tubuhnya mengalami keracunan hebat akibat meminum air ketuban ibunya semasa dalam kandungan.
Sebetulnya, pantang bagi seorang perawat menangis di hadapan pasien, meski emosi beringsut menuju titik nadir. Akupun mengerti hal itu. Kami harus tegar apapun yang sedang terjadi di depan mata. Namun benteng kekuatanku runtuh sore itu. Teman-teman perawatku juga mengalami hal serupa. Bahkan dokter yang bertugas, tak mampu membendung emosinya yang terperangkap dalam rasa sesak teramat sangat, terhimpit dalam asa yang terus menyerukan kebenaran namun tenggelam dalam kepicikan jiwa-jiwa kerdil tak berempedu. Ia --sang dokter-, memaki dalam keputusasaan.
Sang bayi sedang berada pada fase kritis. Perlahan ia sedang bergerak dari dunia fana menuju alam baka yang penuh misteri. Namun bukan berarti ia tidak bisa terselamatkan. Kami semua berpacu dengan waktu, berselimutkan keyakinan bahwa anak itu pasti akan "kembali". Tidak lagi kami peduli akan alarm dari alat-alat bantu medis yang terus meraung pertanda waktu tidaklah banyak. Sampai akhirnya ia mengalami gagal napas. Secara kasat mata ia terlihat tidak lagi bernapas. Namun sesungguhnya bayi mungil itu masih memiliki nadi yang berdenyut. Artinya, kesempatan untuk kembali masih sangat besar.
Oleh sebab itu, dokter memutuskan untuk melakukan CPR. Namun apa yang terjadi saat itu seperti halilintar yang menyambar kami. Oma sang bayi menolak mentah-mentah dengan alasan cucu nya sudah meninggal. Dengan sengaja ia memilih untuk menolak dilakukannya CPR.
Mendengar hal itu, dokter tidak kehilangan akal. Sang Oma tidak berhak sama sekali karena ibu nya --seorang perempuan muda berusia 16 tahun-, saat itu ada bersama kami. Dokter pun bertanya meminta ijin untuk melakukan tindakan selanjutnya.
Seolah-olah mensyukuri bahwa anaknya sendiri akan meninggal, remaja ini melimpahkan keputusan kepada oma nya yang memang menginginkan bayi mungil itu untuk mati, sekalian menghapuskan aib karea anak perempuannya hamil di luar nikah.
"Kamu adalah ibunya! Kamu yang harus memberik keputusan. Anak ini masih bisa diselamatkan!," teriak dokter kepada ibu bayi tersebut.
"Tidak tahu, tanya saja sama Oma," balas remaja itu sengit.
"Biarkan saja, cucu saya itu sudah meninggal. Kami akan membawanya pulang. Dia tidak mungkin hidup, "timpal perempuan paruh baya itu,
"Ya biarkan saja. Saya akan bawa anak saya pulang, "demikian ibu dari sang bayi.