Di akhir tahun 2019 lalu dunia dihebohkan dengan munculnya wabah penyakit yang disebut COVID-19 yang bermula disebuah kota yang ada di China yaitu Wuhan. Wabah tersebut secara cepat menyebar ke belahan dunia manapun, termasuk Indonesia. Wabah penyakit ini memang mengharuskan kita untuk menggunakan masker serta hand sanitizer dan diam dirumah jika tidak ada keperluan. Diawal kemunculannya masyarakat berbondong-bondong ke apotik maupun pasar swalayan untuk membeli keperluan yang di perlukan seperti masker, hand sanitizer, dan beberapa bahan pokok. Namun yang berbeda adalah kini masyarakat saling berebutan dan juga melakukan penimbunan terhadap barang-barang yang dianggap penting yang disebut sebagai panic buying.
Pada 2 Maret 2020 merupakan kasus pertama COIVD-19 di Indonesia dimana seketika masyarakat menjadi panik. Panic buying juga terjadi dimana hand sanitizer, masker dan juga beberapa bahan pokok menjadi sebuah barang yang sangat langka karena adanya penimbunan hingga beberapa pasar swalayan harus membatasi jumlah pembelian. Banyak hal yang menjadi penyebab panic buying itu bisa terjadi dan dari beberapa penyebab tersebut jika kita lihat dari dasarnya adalah karena pengaruh media massa.
Menuru Dr. M. Grohol, Psy.D. keinginan panic buying dipengaruhi oleh orang lain karena adanya penularan emosi. Saat dimana seseorang mengamati perilaku orang lain yang menimbun bahan belanja maka orang itu juga berpotensi untuk melakukan hal yang sama karena kepanikan itu dapat menular. Dan dengan di tambah lagi oleh media massa yang melaporkan rak-rak kosong di pasar swalayan maupun memberitakan suatu kelangkaan barang tertentu yang juga membuat masyarakat malah melakukan hal yang sama. Media juga dapat memberhentikan fenomena panic buying dengan menampilkan bukti-bukti sosial tentang persediaan logistik.
Film juga bisa menjadi salah satu penyebab panic buying tersebut terjadi seperti yang terdapat pada film World War Z. World War Z merupakan film yang menceritakan tentang tersebarnya wabah zombie. Dalam film tersebut juga ada adegan dimana masyarakat merasakan panik dan juga melakukan panic buying di sebuah pasar swalayan. Hal tersebut bisa menjadi pemantik untuk masyarakat melakukan panic buying saat wabah COVID-19 terjadi karena dianggap COVID-19 merupakan hal yang sama bahayanya dan harus diam dirumah saja sehingga membutuhkan banyak kebutuhuan untuk bertahan hidup.
Jika dihubungkan dengan teori kolonialisme elektronik yang menyebutkan bahwa sebuah media global mempengaruhi manusia bagaimana berpikir, melihat dan bertindak (Tyas,2015). Dapat dilihat bahwa panic buying dapat menular kepada masyarakat lain yang melihat persediaan bahan-bahan pokok semakin menipis. Dan dengan adanya media yang memberitakan bukti-bukti sosial bahwa persediaan logistik masih terjaga maka juga akan memengarhui perilaku manusia sehingga tidak terjadi panic buying lagi.
Daftar Pustaka
Tim. (2020). Alasan Psikologi di Balik 'Panic Buying'. Di akses dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200322161747-284-485813/alasan-psikologi-di-balik-panic-buying.
Arif Putra. (2020). Penjelasan Ahli Mengenai Perilaku Panic Buying di Tengah Pandemi Virus Corona. Di akses dari https://www.sehatq.com/artikel/panic-buying-di-tengah-krisis-dan-wabah-corona-apa-penyebabnya
cnn.com. (2020). Cegah Panic Buying, Supermarket di Dunia Batasi Pembelian. Di akses dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200319132414-92-484945/cegah-panic-buying-supermarket-di-dunia-batasi-pembelian.
Tyas, B. (2015). Teori Kolonialisme Elektronik dan Teori Sistem Dunia. Di akses dari https://prezi.com/ekcz4fkvlfyp/teori-kolonialisme-elektronik-dan-teori-sistem-dunia/.
#komglob03