Lihat ke Halaman Asli

Samuel Henry

TERVERIFIKASI

Seni Mengkritisi Tanpa Merusak

Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak orang yang mengatakan bahwa berpikir kritis itu sangat penting dijaman yang "edan" ini. Dengan riuhnya berbagai lapisan masyarakat baik dalam hal politik, ekonomi dan kehidupan sehari-hari, pemikiran kritis sering diasumsikan sebagai salah satu tanda tolak ukur mampu tidaknya merespon perubahan disekeliling kita dan melakukan perubahan atau pengaruh tertentu.

Sayangnya, sifat mengkritisi yang terjadi saat ini malah keblablasan dan negatif efeknya. Yang kita lihat diberbagai area seperti media sosial, media massa dan berbagai ruang interaksi publik lainnya adalah berbagai model kerusakan. Ada yang merusak pertemanan, rasa respek, kewajaran sampai moralitas dan norma susila ketimuran.

Sepertinya sampai saat ini terlalu sulit untuk dibendung efek negatifnya. Tidak hanya remaja dan orang kebanyakan, beberapa petinggi atau kalangan intelektual juga ikut "ngaco dan asal bacot". Banyak yang lebih mengarah kepada penyajian ungkapan kasar dan makian. Apakah harus begitu? Itukah yang disebut sebagai bentuk kritis seseorang? Kalau tidak, bagaimana sifat mengkritisi yang masih dalam aturan permainan dan batas kewajaran?

Yang Mengakselerasi

Kemajuan teknologi melalui internet dan peralatan komunikasi saat ini sangat menunjang penyebaran informasi ke berbagai lapisan masyarakat. Tidak hanya teks dan gambar, bahkan video pun sudah mudah untuk disebarkan.Namun artikel ini lebih memfokuskan kepada informasi dalam bentuk tulisan atau opini dan pendapat seseorang.

Setiap orang berhak bersuara dan mengeluarkan pendapat. Bahkan hak ini dilindungi oleh undang-undang kita. Tapi yang menjadi permasalahan saat ini adalah model penyajiannya yang buruk. Banyak yang menuliskan berbagai pendapat dan argumentasi tanpa melakukan proses yang baik.

Akibat pengabaian proses ini, maka banyak dampak buruk yang terjadi. Seperti pemahaman yang salah, pengertian yang menyimpang dari maksud awal, bahkan yang terburuk adalah provokasi tanpa sadar. Lalu, digabung dengan kemajuan teknologi tadi, apa yang terjadi? Anda bisa tebak sendiri bukan?

Lepas dari masalah itu, banyak akibat yang tidak diinginkan muncul. Sialnya ketika nasi sudah jadi bubur, si pemilik suara malah tidak mengakui perbuatannya dengan jujur. Sembunyi di balik alasan kilaf, tidak bermaksud demikian, dsb. Tapi satu hal yang perlu diingat, tidak ada manfaat menghempang informasi yang tersebar biarpun berita itu tidak benar. Lho?

Begini, bila berita yang tidak benar telah menyebar dan ada upaya tekanan untuk menghentikannya maka yang terjadi adalah sebaliknya. Tindakan represif selalu menghasilkan perlawanan dan pada akhirnya yang tumbuh bukanlah kesadaran tapi malah simpati. Biarpun dirasa logika ini bersifat paradoks, tapi yang terjadi seringkali memang demikian.

Lebih baik berita itu dibiarkan menyebar, dan untuk menghentikan atau memperlambat akselerasinya sebaiknya dibuat berita penyeimbang. Berita inilah yang akan membuat balance antara efek negatif tadi dan berita yang sebenarnya. Artikel saya ini lebih menyoroti bagaimana caranya agar kita bisa membuat keseimbangan tertentu.

Tentu yang paling ideal adalah anda - sebagai pemilik suara - sudah melakukan proses mengkritisi diri sendiri terlebih dahulu.

Bila Anda Pemilik Suara

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline