Ada tindakan yang bertolak dengan nalar secara umum yang dilakukan oleh pemegang wewenang transportasi di Idonesia dalam hal masalah Taksi Online. Kemenhub dalam hal ini mengeluarkan revisi peraturan yang sekilas seperti mengakomodasasi kepentingan publik dalam hal taksi online vs taksi konvensional. Namun bila ditelaah lebih dalam maka ada beberapa keanehan yang cukup mendasar dalam pembuatan keputusan tersebut.
Terlepas dari berubah atau tidak nanti peraturan tersebut ketika diimplementasikan di lapangan, saya lebih tertarik membahas faktor-faktor yang mungkin tidak terlalu diperdulikan atau tidak lagi digubris banyak orang saat ini yaitu nalar. Disini saya mengajak para Kompasianer untuk lebih memahami masalah ini dengan menggunakan nalar dibanding kebiasaan.
Melalui revisi peraturan yang bisa anda baca beritanya di link ini, Kemenhub menyatakan bahwa penetapan tarif atas dan bawah ditujukan untuk meminimalkan polemik yang terjadi selama ini antara perusahaan taksi online dan konvensional. Meminimalkan polemik dengan membatasi tarif murah? Sementara efisiensi harga dicari oleh semua konsumen, disini keputusan tersebut seakan-akan melawan kemauan pasar hanya dengan alasan menekan polemik. Jadi bukan solusi menyeluruh atau ke inti masalah.
Apakah polemik hanya melulu soal taksi online vs konvensional? Atau sebenarnya bentuk ketidakmampuan pemerintah merubah dan memperbaiki kondisi transportasi saat ini? Banyak pihak yang menuding demikian. Wajar saja tudingan itu muncul. Katakanlah: Bila polemik yang diminimalkan, lalu bagaimana potensi konflik antara berbagai industri konvensional dan online di bidang lain nantunya? Apakah akan seperti taksi online juga diatur batas bawah dan atasnya? Apakah tidak mungkin industri lain juga protes karena model bisnis industri berbasis aplikasi online bermunculan dan perlahan menggantikan model bisnis yang sudah mapan selama ini? Ada tulisan Kompasianer lain yang sangat informatif mengenai hal itu.
Apakah adil kalau segelintir pelaku tansportasi konvensional dimanjakan dan terkesan lebay dengan kondisi saat ini? Bagaimana kita tidak terpikir demikian melihat banyaknya aksi demo di berbagai kota. Apakah ini bentuk kecemasan sekaligus ketidakmampuan mereka berkompetisi, atau memang ada yang salah dengan model bisnis lama? Masihkah patut dipertahankan? Atau diatur dengan model batas dan kuota segala? Banyak pertanyaan yang menggantung dengan model penerapan dari pemerintah saat ini:
Menambah tulisan tersebut, melalui tulisan ini saya banyak membahas berbagai masalah terkait taksi online. Kebetuan saya adalah penggiat di dunia startup. Industri yang berkesempatan membuat berbagai inovasi dengan tujuan memperbaiki mutu dan kondisi kehidupan disekitar kita. Saya mencoba memberikan perspektif yang berimbang dengan berbagai informasi dan data yang saya dapatkan langsung dari lapangan. Jadi bisa dikatakan sebagian pembahasan di artikel ini saya dapatkan langsung dari pihak terkait,
Menggampangkan Masalah
Untuk masalah solusi taksi online: Saya melihat masih besarnya pola sikap menggampangkan masalah yang digunakan oleh pemegang wewenang dalam menentukan sikap yang adil dan menyeluruh. Bayangkan secara logika agak sulit menerima akal mengapa harus konsumen yang membayar lebih mahal dengan beberapa alasan yang sepertinya tidak mendapatkan fundasi/alasan yang kuat dan ilmiah. Mengapa saya sebut ilmiah? Karena revisi dan sosialiasi yang dilakukan bukan untuk kepentingan publik atau konsumen, tapi lebih kepada menenangkan sekelompok pemegang kepentingan dan merugikan konsumen secara keseluruhan.
Salah satu alasan berbagai aturan dan ketentuan adalah untuk keamanan dan keselamatan penumpang. Katanya sih. Tapi apakah ada riset yang menunjukkan angka pasti dari manfaat atuan dan ketentuan terhadap jumlah kecelakan dan masalah di industri taksi selama ini? Atau itu hanya asumsi saja? Apakah sudah seharusnya dibuat penelitian lebih menyeluruh sehingga bisa dibuktikan bahwa aturan tersebut memang betul-betul mendukung keselamatan dan ada korelasinya dengan kenyamanan penumpang secara langsung.
Logika mengkritisi kebijakan dan aturan seperti ini akan muncul dengan sendirinya ketika kita dipaksa membayar ongkos yang lebih mahal dari yang selama ini kita bayarkan ke taksi online. Pihak terkait (pemerintah, industri taksi konvensional) bisa saja berdalih dengan alasan keamanan dan berbagai jenis aturan lainnya. Sayangnya, banyak aturan tersebut sebenarnya sudah kedaluarsa dan menjadi lahan pungutan liar. Tidak banyak yang mau mengakuinya. Semuanya berdalih dibalik aturan dan perundang-undangan. Apakah memang demikian? Apakah peraturan tidak bisa dirubah dan disesuaikan?
Contoh yang paling diperbincangkan di kalangan taksi online adalah ketentuan KIR dan stiker. Entah apa fungsinya selain dalam kondisi nyata proses itu memperlama perizinan. Jika bisa dipercepat mungkin resistensi para pemilik taksi online tidak akan besar. Tapi seperti yang diketahui, setiap ketentuan seperti itu malah pada praktiknya menjadi sumber pungli. Apakah Kemenhhub mampu membuat proses pemrosesan KIR menjadi cepat dan tidak menjadi kendala atau masalah lainnya? Kita akan lihat nanti.
Sebagai salah satu penggiat di dunia startup dan IT, saya banyak melihat upaya melahirkan inovasi untuk lebih mendayagunakan dan meningkatkan efisiensi para pemain baik besar maupun kecil. Teknologi bisa menjadi alat bantu yang sangat efektif bagi semua kalangan dan kondisi ini menguntungkan tidak hanya para pemilik modal saja, namun juga para pengguna jasa tersebut.