Sumber foto: Meme yang bertebaran di media sosial.
Artikel ini saya tulis karena terinspirasi tulisan mas Amirsyah Oke yang berjudul Perploncoan Tetap Jalan Diam-diam? Saya berusaha memahami dari beberapa sudut pandang dan artikel ini adalah masukan dari saya. Ditujukan untuk memahami mengapa perploncoan masih terus berjalan dan juga apa alternatif penggantinya. Selain kepada pembaca dari kalangan pendidik, saya kira saran saya ini bisa diserap oleh para orang tua dan diteruskan kepada pihak sekolah untuk diimplementasikan.
Sebelum saya mulai, saya terlebih dahulu memberikan catatan bahwa masukan yang saya berikan bukan hanya dari 1 sudut pandang saja yaitu orang tua, tapi juga kombinasi dari sudut pandang pendidik (dosen), desainer game dan tentu saja sebagai mantan murid yang pernah juga diplonco di masa muda.
Mengapa Terulang Terus?
Dari sudut pandang orang tua, saya melihat perploncoan ini adalah aktivitas buruk yang sudah menjadi kebiasaan. Pembiaran yang dilakukan oleh beberapa pihak sekolah (bukan hanya siswa senior saja) tanpa disadari terus memupuk kebiasaan ini, sehingga dirasakan sebagai satu kewajaran dan tidak ada pengaruh yang luar biasa sampai nanti ada masalah. Beberapa contoh kasus seperti ospek yang terlalu keras & kasar, melecehkan, bersifat bullying, tidak menjamin adanya kesadaran massal pada publik akan akibatnya. Padahal kalau anda mau mencoba melihat bagaimana korbannya, silahkan googling sendiri dengan kata kunci "meninggal karena ospek".
Sekarang mungkin anda lebih setuju kalau pembiaran ini terus dilakukan maka korban tetap berjatuhan. Sialnya, masyarakat hanya ribut sekitar seminggu dua minggu di awal sekolah mulai berjalan dan kembali kalem setelah beberapa waktu. Mungkin pola "badai pasti berlalu" ini yang dibayangkan oleh para pelaku perploncoan? Bisa jadi...
Walaupun mayoritas korban yang meninggal adalah mahasiswa (hasil searching Google tadi), bukan berarti jejak trauma kepada para siswa SMU lainnya tidak berbekas dan bisa dianggap trauma kecil. Percayalah, amplifikasi untuk membalas dendam akan muncul dan tidak heran kenapa perploncoan di tingkat mahasiswa masih terus subur bukan?
Jadi, kita harus bisa melihat benang merah trauma dan sifat kekerasan yang terpendam antara masa remaja sampai memasuki tahap mahasiswa sampai ketika sudah dewasa. Bahkan sudah banyak dari pembaca yang paham akibat dari trauma kekejaman pada masa kecil anak terhadap perkembangan psikologisnya sampai dewasa bukan? Pengaruh trauma seperti itu masih tetap berpengaruh terus kepada korbannya. Meme di bawah ini mungkin terlalu nyinyir.. tapi kalau dicermati, saya sendiri jadi penasaran: apakah bisa terjadi demikian?
Saya sendiri di masa kecil adalah korban bullying. Ketika masih SD, saya dan beberapa teman saya mengalami bullying yang cukup keras dari seorang kakak kelas. Setelah dewasa, saat dia minta maaf kepada saya di kemudian hari, barulah saya paham kenapa itu bisa terjadi. Ternyata dia mengalami kekejaman dari ayahnya di masa kecil. Bullying yang dilakukannya adalah tindakan membalas dendam kepada kami adik kelas karena kami lebih junior dan tidak berani membalas.
Trauma itu lama berbekas kepada saya. Selain memendam dendam dalam waktu cukup lama, juga membuat saya menjadi pribadi yang rada penakut di masa SMP. Syukurlah di saat SMU saya beranikan untuk masuk ke sekolah bela diri dan perlahan trauma itu bisa teratasi. Rasa dendam dan marah itu perlahan hilang karena kepercayaan yang tumbuh dari latihan karate.
Saat masuk kuliah di tahun 1990. kejadian model bullying terjadi lagi ketika saya menjadi mahasiswa baru. Namun karena saya sudah ditempa melalui bela diri, efek dari bullying itu tidak terlalu parah. Tapi perasaan dendam, tidak terima dan rasa ingin membalas tidak butuh waktu lama untuk muncul kembali. Parahnya, saya dan beberapa teman korban ospek kampus malah sempat menjadi "geng pemberontak" setelah masa perploncoan. Tidak hanya senior atau junior yang kami lawan, malah dosen pun kami tantang.