"Sam! Jangan dimainkan dulu hapenya, lagi di charge!"
Kira-kira seperti itulah seruan ibu saya ketika kami sekeluarga baru memiliki sebuah telepon genggam, yang belum pintar pada waktu itu. Maklum, telepon seluler kami adalah sebuah telepon seluler yang mereknya berasal dari Finlandia dan layarnya hanya dua warna, hijau untuk background dan hitam untuk warna teksnya. Fungsinya pun sangat ringkas, telepon dan mengirim pesan singkat (SMS) serta bermain game ular yang bisa semakin memanjang ketika dia memakan umpannya. Pada masanya, telepon seluler ini sangat merajai pangsa pasar perteleponan di Indonesia, dan sempat menjadi primadona mengalahkan merek-merek lain yang umumnya berasal dari Jepang.
Seiring perkembangan zaman dan semakin pintarnya telepon itu, karena mungkin dia disekolahkan, pada akhirnya kebiasaan pun berubah. Dari yang awalnya dia bisa ditinggal untuk diisi daya baterainya sebentar saja, lama kelamaan si telepon yang sekarang sudah pintar ini tidak bisa ditinggal begitu saja. Seruan ibu saya yang seperti itu pun lama kelamaan hilang bak ditelan bumi, karena kalah oleh seruan si telepon pintar itu yang seakan-akan mengatakan "pakailah aku, isi dayaku". Bahkan seiring perkembangan teknologi juga, ditemukanlah sebuah "bank daya" (powerbank) yang cara kerjanya mirip seperti aki mobil/motor. Hal ini semakin membuat si telepon pintar makin tidak bisa ditinggal, dan semakin membuat kita dapat menggunakannya secara terus menerus.
Namun hal tersebut jugalah yang membuat si telepon ini pada akhirnya cepat rusak, yang membuat serta mengharuskan kita mengikuti perkembangan teknologi telepon tersebut. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa seseorang dapat mengganti telepon pintar dengan model yang lebih baru rata-rata setiap 22 bulan, dan telepon itu sendiri "semakin pintar" setiap 6 bulan. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa perubahan atau pergeseran kebiasaan untuk mengisi daya telepon, ternyata memiliki dampak besar terhadap pola kehidupan kita. Hal ini juga yang mungkin membuat kita banyak "menginvestasikan" uang kita di dalam bagian tersebut, entah karena keperluan ataupun hanya sekedar mengejar perkembangan teknologi belaka.
Lalu, apa kaitannya dengan kehidupan kita?
Seorang rekan pernah mengatakan kepada saya: "kalau kamu mau menilai seseorang, janganlah menilainya hanya lewat tes-tes yang umum saja, tetapi nilai juga gawai (gadget) yang ia miliki." Tentu, menilai hal tersebut tidak hanya sekedar berapa harganya dan apa tipenya, tetapi lebih kepada bagaimana cara dia menggunakan alat tersebut, termasuk bagaimana dia mengisi daya baterainya, apakah didiamkan sejenak atau justru terus menerus dipakai. Mungkin dalam bahasa yang agak kekinian, apakah dia memberikan waktu "sabat" bagi gawai tersebut, atau memaksanya untuk "kerja lembur bagai kuda"?
Pernyataan seorang rekan saya ini bukanlah tanpa alasan, melainkan didasari sebuah kenyataan bahwa kita semakin tidak dapat dilepaskan dari gadget, atau gawai yang kita miliki. Dan tak ubahnya gadget tersebut, begitulah terkadang kehidupan yang kita jalani. "Baterai diri" yang kita miliki pad akhirnya jarang dapat terisi penuh, karena dalam masa mengisi itu pun kita dipaksa untuk terus bekerja tanpa lelah. Hal inilah yang pada akhirnya membuat baterai tersbeut "bocor", dan tidak akan dapat terisi penuh. Kalau sebuah baterai gawai bocor, maka daya yang dikeluarkan olehnya tidaklah maksimal, bahkan cenderung merusak perangkat yang bersama dengan dia.
Contoh saja, kalau sebuah baterai bocor, tidaklah mungkin ia dapat memberikan status yang benar kepada perangkat indikator yang berfungsi mengukur berapa lama gawai tersebut dapat dipakai. Hal ini dapat berdampak kepada usia pemakaian dan mungkin juga dapat mengakibatkan panas berlebih (overheat), yang dapat mempercepat perusakan pada alat tersebut. Kalau "baterai diri" kita bocor, bagaimana kita dapat bekerja maksimal dan memaknai setiap proses kehidupan kita dengan baik? Bagaimana kita dapat menjadi "berkat bagi sesama" atau bahkan menjadi "inspirasi" bagai banyak orang, jika "baterai diri" yang kita miliki tidak dapat penuh seutuhnya?
Oleh karena itu, mungkin ada benarnya kalau kita kembali kepada prinsip bahwa kita adalah manusia yang terbatas, yang senantiasa butuh untuk diisi dayanya. Tak ubahnya gawai yang kita miliki, kita juga membutuhkan waktu untuk beristirahat, berdiam diri sejenak, dan menata ulang kehidupan kita untuk menjangkau hal yang lebih banyak dan bermanfaat. Well walaupun terlihat kuno, mungkin ada benarnya juga seruan ibu saya tadi yang menjadi pembuka tulisan ini, yang sampai sekarang masih beliau serukan secara konsisten, walaupun telepon genggam kami sekeluarga sudah "pintar-pintar" semua.
Mungkin juga seruan ini berguna bagi kita, yang hidup di zaman "dopping mania", karena kita dituntut untuk terus mengeluarkan daya sekalipun mungkin hampir kehabisan daya di dalam "baterai diri" kita masing-masing. Setidaknya, hal ini sedikit men-delay kebocoran baterai yang menjadi konsekuensi dari keterbatasan diri yang kita miliki, dan mungkin membuat diri kita dapat hidup dengan lebih utuh di dunia yang "tidak utuh" ini. Sebab kalau sudah bocor, tak ada solusi lain lagi selain diganti dengan yang baru dan yang compatible, sebab banyak baterai-baterai "KW" yang beredar di pasaran luar yang juga mewarnai perjalanan kehidupan kita.
Self-care is how you take your power back. -Lalah Delia-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H