Lihat ke Halaman Asli

Jadi "Hantu" itu, Capek Lho!

Diperbarui: 17 Oktober 2017   13:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari ini saya melihat dan mengamati animo masyarakat yang begitu tinggi ketika melihat film horor berjudul "Pengabdi Setan". Ya, sebuah filmremake dari film yang berjudul sama dan menjadi simbol kebangkitan film horor Indonesia karena kualitas yang lebih baik dari film-film horor Indonesia sebelumnya, yang kebanyakan mempertontonkan adegan eksploitasi seksual. 

Tentu saja, ini menjadi sebuah angin segar bagi industri film Indonesia yang mulai menunjukkan gairah kebangkitannya sejak mulai munculnya sineas-sineas muda berbakat. Sebagai salah seorang penikmat film juga, saya mengapresiasi kerja keras mereka dan memberi penghargaan setinggi-tingginya kepada para insan perfilman tersebut yang telah bekerja keras mengembalikan kejayaan "Film Indonesia".

Namun di saat yang sama, saya juga melihat dan membaca sebuah artikel yang membahas mengenai peran perempuan dalam film-film jenis tersebut, yang umumnya berperan sebagai sosok "hantu".  Sebut saja "Kuntilanak", "Sundel Bolong", "Si Manis Jembatan Ancol", bahkan sosok "Ibu" yang ada dalam film "Pengabdi Setan", yang dipakai juga oleh peulis sebagai ilustrasi tulisannya, semuanya adalah perempuan. 

Mungkin sedikit mundur ke era '80an, kita mengenal sosok Almh. Suzanna yang sangat piawai bermain dalam peran-peran seperti ini. Film-film yang dibintanginya pun menjadi film yang sangat legendaris, bahkan beliau sendiri dijuluki sebagai "Ratu Film Horor Indonesia". Tetapi penulis dalam artikel tersebut mengatakan dengan jelas bahwa, film-film ini menjadi penggambaran betapa lemahnya posisi perempuan dalam masyarakat maupun di mata hukum. Saya pun sependapat dengan hal ini. Mengapa?

Menilik latar belakang pasukan hantu-hantu sejenis itu, dapat kita temukan bahwa penyebab mereka menjadi hantu adalah karena kekerasan yang mereka alami. Coba saja kita cari latar belakang Si Manis Jembatan Ancol atau hantu-hantu "kontemporer" seperti yang ada di film "Toilet 105", mereka semua gentayangan karena tindak kekerasan yang mereka terima baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal inilah yang kadang tidak dapat ditangkap oleh para penonton, karena motivasi untuk menonton film tersebut mungkin hanya sekedar menonton saja, ataupun berniat mendapat "sentuhan tak sengaja" dari pujaan hati sehingga kita menjadi tidak kritis atas tontonan-tontonan yang da di hadapan kita.

Tapi mungkin kalau saya adalah karakter seorang hantu yang dipertontonkan dalam film-film tersebut, saya akan mengajukan petisi untuk memboikot film-film berjenis tersebut bersama dengan pasukan hantu lainnya. Mengapa? Karena capek menjadi hantu yang terus-menerus digambarkan sebagai sosok jahat dan kejam, padahal kami punya latar belakang yang membuat kami menjadi seperti itu, yang seharusnya lebih dipertontonkan sebagai bahan edukasi kepada masyarakat dan bukan berakhir menjadi "meme" ataupun penyebab sentuhan-sentuhan tadi. Seandainya dimensi edukasi yang dipertontonkan, mungkin kami-kami ini dapat meninggalkanlegacy yang bisa membuat kehidupan saat ini menjadi lebih baik dari sebelumnya, tidak hanya diingat sebagai sosok yang bergentayangan dan tidak berfaedah saja. Dengan begitu, film horor tidak hanya berakhir sebagai sebuah film yang layak untuk dinikmati saja, tetapi juga mendidik dan mengajak para penonton serta masyarakat untuk lebih peduli dengan keadaan di sekitarnya, bahkan lebih waspada dan bijaksana dalam membuka pengetahuan soal akses-akses khususnya kepada dunia medis.

Namun kembali lagi, ini tidak lepas dari selera pasar yang memang mungkin baru mampu sampai kepada tingkatan tersebut. Sebagai seorang yang juga senang mengamati pergerakan pasar, saya harus terus mengelus dada karena masyarakat secara luas belum mampu untuk "diberi makanan berat". Mungkin ada sebagian yang sudah mampu memakan "makanan berat", namun jumlah mereka tidak sebesar mereka yang hanya mampu diberi "makanan bayi". Setidaknya, sekarang kita baru mampu berharap untuk sampai kepada tingkatan tersebut. Mudah-mudahan, ada sineas yang tergerak untuk membuat film horor yang bersifat edukatif, sehingga standar perfilman di Indonesia juga ikut naik dan tidak hanya berbicara soal "romantisme" ataupun "eksploitasi belaka".




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline