Lihat ke Halaman Asli

Samuel Christopher

Pelajar Kolese Kanisius Jakarta

Pria, Menjelajah Maskulinitas Sejati

Diperbarui: 22 November 2024   21:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejak zaman dahulu, ada pemahaman tertentu di masyarakat mengenai cara pria bersikap dan tampil. Menurut National Geografic Institute maskulinitas adalah harapan sosial menjadi pria. 

Sering kali maskulinitas dikaitkan dan dikenal dengan keberanian, kekuatan fisik, serta ketahanan emosional, dan hal ini diharapkan oleh masyarakat untuk pria memiliki maskulinitas dan mencerminkan sikap tersebut dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan sehari-hari tanpa menunjukkan kelemahan, dan didorong untuk menekan emosi seperti kesedihan serta ketakutan.

Di masa lalu, pekerjaan pria biasanya membutuhkan kekuatan fisik, misalnya, berburu, bertani, atau berperang. Hal ini menjadikan seolah pria memiliki fisik yang kuat. Pria juga adalah seorang kepala keluarga sehingga memiliki tugas melindungi dan mencari nafkah untuk keluarga.

  Zaman telah berubah, dan peran pria pun turut bergeser. Tantangan karier, persaingan ekonomi, dan perubahan budaya mengharuskan pria untuk beradaptasi dengan cara yang berbeda dari masa lalu. Konsep maskulinitas yang ada dalam masyarakat sebelumnya kini menghadapi persoalan, karena kondisi pada zaman sekarang berubah dapat menghambat perkembangan seseorang dan berdampak pada kesehatan mental.

Saat ini, komentar seperti "pria kok menangis" sering digunakan untuk mencirikan pria. Stereotip yang menyatakan bahwa pria harus selalu kuat dan memiliki fisik yang sempurna dan tidak mampu mengekspresikan emosi menjadi permasalahan pada masa saat ini. 

Perspektif ini, meskipun zaman telah berubah, memberikan tekanan besar pada orang-orang untuk memenuhi ekspektasi yang tampaknya tidak sehat dan tidak realistis. Pria yang menunjukkan perasaan sedih sering dianggap lemah. 

Dari hal ini menunjukkan bahwa pria tidak mampu mengkomunikasikan emosinya dengan cara yang sehat. Berterus terang mengenai perasaan seseorang adalah tanda pengakuan dan perasaan terhadap apa yang dirasakan, bukan tanda kelemahan.

 

    Penyebab utama dari masalah ini adalah warisan nilai budaya dari zaman dahulu yang masih ada dan mempengaruhi pandangan masyarakat. Ekspektasi sosial  yang dipegang teguh oleh banyak orang menjadi tantangan bagi pria untuk melakukan kegiatan sehari-hari.

Media massa dan industri hiburan dapat memperkuat stereotip ke gender tertentu termasuk maskulinitas baik dengan perantara film, acara televisi, maupun iklan. Pria seringkali digambarkan sebagai sosok yang kuat dan memiliki fisik yang sempurna. Hal ini juga membuat tekanan bagi pria untuk memenuhi standar tersebut yang tidak realistis, tidak semua orang bisa merealisasikan standar tersebut. 

Akibat dari permasalahan ini, pria sering menyembunyikan perasaan mereka ketika menghadapi masalah. Ini bisa menyebabkan gangguan mental seperti cemas dan sedih. Pria yang merasa tidak maskulin dapat merasa rendah diri. Mereka percaya masyarakat tidak menghargai mereka. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline