Dikisahkan oleh :
Winda
Aku Winda, bagian sebelumnya, adalah ungkapan perasaanku saat tiba tiba pak jantan menghubungi aku kembali untuk mengajak pertemuan. Catatan : bahwa nama guru ku saat sekolah, aku samarkan dengan panggilan pak jantan.
Pada pertemuan pertama, setelah empat belas tahun terpisah, hatiku sungguh tergoyahkan, kini beliau duda dan perasaanku kembali seperti masa silam. Dengan pujian dari beliau membuat aku merasa menjadi Winda bukan sebagai istri mas Satrio.
Kini, aku merasa dalam hati kecilku, bahwa aku merindukan pak jantan. Aku ingin kembali berdekatan, bercengkrama dan berada di hangatnya pelukan beliau.
Apakah aku sudah jatuh cinta? Entahlah yang jelas perasaanku mengharap kenyamanan seperti itu.
Tapi kenyataannya, aku harus kembali pada rutinitas ku lagi. Dari pagi hingga malam, aku berkutat dengan anakku dan rumahku.
Tanpa dapat cerita. Maksudnya? Ya benar aku memiliki suami, namun bila aku ceritakan mengenai keseharian ku, bagi mas Satrio adalah hal sepele yang hanya didengar sambil lalu.
Waktu awal menikah, hal tersebut tidak terasa, karena aku masih bekerja di kantor, sehingga aku bisa cerita pada teman teman kantorku. Mas Satrio pun saat itu masih mendengarkan dengan baik. Bagi dia masalah kantor itu lebih utama, lebih hebat dibanding masalah di rumah. Semenjak di rumah, kesepian dan kejenuhan menyelimuti hari hariku. Untung ada anakku yang imut dan cerewet, sehingga waktu terasa berjalan cepat.
Bila malam tiba, merupakan problem tersendiri. Permintaan mas Satrio hampir boleh dikata sering. Dan sesering itu pula aku harus menelan ludah.
Sudah dua kali aku ajak mendiskusikan dan membicarakan, namun hasilnya selalu nihil. Mindset mas Satrio yang harus dirubah, dia selalu menganggap bahwa semua demi dia yang utama, sedangkan yang lain itu tidaklah penting.
Malam ini pun akan sama dengan malam malam sebelumnya.
Saat aku selesai menidurkan anakku, lalu makan malam sendirian. Mas Satrio sudah mendekati aku dan berkata pelan, say aku tunggu di kamar ya. Aku katakan padanya bahwa aku sedang makan malam. Jawabnya setelah makan Win. Aku siap menunggu Winda di kamar.
Hatiku menjadi tawar, rasa makananku jadi hambar. Aku memperlambat suapan demi suapan. Aku sudah terbayang endingnya, perasaanku akan menjadi korban kembali.