Lihat ke Halaman Asli

7 Hari Prosa Pendek Cinta [Keempat: Panglima Merah]

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

: samudera

"Selamat pagi, Panglima Merah."

"Kenapa harus merah?" tanyamu.

"Kenapa tidak merah?" jawabku. "Masih ingat ketika di SD, guru pendidikan moral dan perjuangan bangsa sering menjelaskan arti warna bendera negara kita, merah tanda berani, putih berarti suci. Kubilang, merah itu semangat. Tidak jauh beda dari berani."

Seperti inilah kamu adanya bagiku. Merah. Seorang panglima merah, yang mendamba pembaharuan, tidak takut menyuarakan kejujuran. Meski itu berarti tidak sepakat dengan mayoritas. Meski itu berarti menjauh dan memilih jalan sunyi.

Merah. Panglima. Selalu semangat. Selalu merah.

"Tapi merah itu banteng, sedang kuning adalah kesetia kawanan, sesuatu yang aku yakini filosofinya."

"Bagiku, kamu itu panglima merah. Tidak peduli kamu memakai baju zirah kuning atau emas sekalipun."

"Meski aku menyukai warna putih, atau bahkan biru?" tanyamu lagi.

"Bagiku, kamu panglima merah, yang meski tidak berkuda, tetapi menggerakkan pasukan melalui kata-kata.  Suatu hari nanti, kamu akan memenangkan pertempuran ini, mengibarkan bendera semesta dan menyairkan cinta di negerimu. Hanya cinta. Hanya damai."

(tetap semangat, panglima merah!)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline