TENTANG VIONA
Oleh: SAMSUTO
Laki-laki itu menggenggam pasir yang masih basah oleh hujan semalam. Wajahnya yang tampak tegar tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya.
"Viona kau telah pergi, anak-anakmu masih terlalu kecil. Bukan aku tidak ikhlas, tapi hatiku masih tak bisa di bohongi untuk berkata berat". Bisiknya pelan.
Laki-laki mulai berumur itu tampak menarik nafas dalam. Terbayang kembali di matanya perjalanan hidup anak semata wayangnya ini.
Sikapnya yang tegas dan terkondisi sama budaya yang biasa berjalan di kampungnya. Nyaris tak bisa membuatnya punya pilihan. Semuanya harus berjalan pada kehendak keadaan. Kalau tidak, maka dia akan malu dengan semua keluarga besarnya.
Baginya, cinta adalah sebuah perjalanan yang mengalir begitu saja. Tak perlu ini dan itu. Itulah awalnya pemaksaan dia pada Viona untuk di jodohkan.
"Tidak Bapak! Aku sudah punya pilihan sendiri. Tak mungkin aku menerima perjodohan ini". Jawab Viona terbata-bata dalam tangis
"Tapi Nak! Ini adalah lamaran yang ketiga. Pantang bagi kamu dan kami menolak. Kalau tidak maka akan susah kamu mendapat jodoh. Pokoknya kamu harus terima!" Tukas Bapaknya yang mulai meradang
"Viona, apa kata tetangga sekitar kalau kamu begitu terus, kalau memang serius calonmu itu. Kenapa dia tidak melamar?" Tambah ibunya
Viona bangun dari duduknya dan lari kekamarnya. Tangisnya pecah.