Saat tahun 2003 dan saya masih duduk dibangku SMP, kala itu saya membersihkan sekolah yang kotor dan berlumpur pasca banjir yang melanda di wilayah kecamatan kami. Hampir sekitar satu minggu sekolah diliburkan akibat banjir yang melanda. Dan sekarang di tahun 2021 dimana saya sudah bekerja di kabupaten yang berbeda, lalu melihat berita di media massa dan media sosial tentang banjir yang melanda, betapa sangat miris hati saya melihat banjir itu masih terus melanda dan menjadi langganan tahunan di wilayah kabupaten kami yang ternyata masih belum ada solusinya
Setidaknya 18 tahun sudah berlalu dan banjir masih saja menjadi ancaman tahunan bagi warga yang tinggal di sepanjang wilayah Kilometer-I hingga Kilometer-XII di Kecamatan Cot Girek dan Kota Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara.
Seperti rutinitas tahunan yang sudah diprediksi oleh warga yang pesimis dan putus asa akan solusi yang bisa membuat mereka tak perlu lagi khawatir akan banjir tahunan dan air lumpur dadakan yang merendam rumah mereka kapan saja, bahkan saat mereka sedang tertidur lelap dalam gelapnya malam. Setidaknya banjir biasa terjadi sebanyak dua kali dalam setahun yakni pada sekitar bulan Oktober dan Desember-Januari.
Merujuk pada idntimes.id terdapat 7 penyebab utama terjadi banjir meliputi Curah hujan yang tinggi, Dataran rendah mendapat kiriman dari dataran tinggi, Penggundulan hutan, Penggunaan lahan yang buruk, Gelombang tsunami, Bendungan rusak dan Perubahan iklim.
Jika ditinjau secara geografis dan proses terjadinya banjir, air yang yang membanjiri wilayah Kecamatan Cot Girek dan Lhoksukon merupakan air bawaan yang berasal dari wilayah perbukitan Cot Girek dan sekitarnya.
Jika air sungai di Cot Girek telah meluap dan tidak surut dalam 2 hari kedepan, maka dapat dipastikan banjir akan terjadi di wilayah permukaan yang lebih rendah seperti Lhoksukon dan sekitarnya.
Beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah seperti pembuatan bendungan dibeberapa kecamatan yang rentan, pelebaran mulut sungai agar volume air yang ditampung bisa lebih banyak, hingga pembuatan bendungan besar seperti Bendungan Keureuto yang terdapat di Kecamatan Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara. Namun semua upaya tersebut belum mampu memberikan solusi yang tepat dalam menanggulangi bencana banjir tersebut.
Bencana banjir tidak hanya merugikan masyarakat setempat, tapi juga sangat merugikan negara dalam pandangan yang lebih luas. Berdasarkan data infopublik.id, Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh Utara Abdul Aziz menyampaikan nilai kerugian akibat banjir yang melanda Kabupaten Aceh Utara sejak 2 Desember 2017 mencapai Rp. 500 miliar lebih.
Nilai yang sangat fantastis yang seharusnya bisa membangun infrastuktur lain yang bermanfaat. Bencana banjir seharusnya dapat ditanggulangi tidak hanya melalui program jangka pendek seperti membangun infrastuktur pencegah banjir, namun juga dengan program jangka panjang seperti memperbaiki kondisi lingkungan yang telah rusak.
Berdasarkan faktor penyebabnya, banjir dominan terjadi disebabkan karena linkungan yang telah rusak. Hal ini dipertegas oleh mongabay, World Resources Institute, dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada media beritanya. Berkurangnya populasi dan kepadatan hutan merupakan penyebab utama terjadinya banjir disuatu wilayah baik wilayah pedesaan maupun perkotaan. Hutan dan pohon sangat berkontribusi dalam menjaga siklus air.
Melalui akar pohon, air diserap kemudian dialirkan ke daun, menguap lalu dilepaskan ke lapisan atmosfer. Ketika pohon-pohon ditebang, daerah tersebut akan menjadi gersang dan tidak ada lagi yang membantu tanah menyerap lebih banyak air (aetra.co.id). Pada kondisi ini banjir kerap menjadi musibah utama yang akan dialami oleh komunitas makhluk hidup disekitar wilayah tersebut termasuk populasi manusia.