[caption id="attachment_141976" align="alignleft" width="464" caption="Peringatan 25 tahun kepelatihan Sir Alex Ferguson di Manchester United ditandai dalam upacara sederhana menjelang laga melawan Sunderland di Old Trafford, Sabtu (5/11). MU menang 1-0 pada laga itu. (Foto: GETTY IMAGES)"][/caption] Jenius. Pria luar biasa. Terhebat sepanjang waktu. Pencapaian yang tak akan terulang. Sulit dipercaya. Laki-laki fenomenal. Mungkin masih ada kata-kata lainnya untuk melukiskan sosok dan pencapaian Sir Alex Ferguson. Hari Minggu, 6 November ini, pria hampir berusia 70 tahun itu tepat 25 tahun melatih Manchester United (MU).
Apa pun ungkapan dan kata-kata untuk menyimpulkan perjalanan hidupnya, satu kalimat ini sudah berbicara dengan sendirinya: "25 tahun dengan 37 trofi, di klub yang sama." Kita, publik sepak bola di Indonesia, hampir melihat sosok Ferguson dan kesebelasan buah karyanya dari dekat saat MU berencana mengelar laga tur Asia di Jakarta, 20 Juli 2009.
Kita semua tahu, rencana itu batal akibat ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton, tempat mereka akan menginap. "Kami merasa harus menjaga keselamatan pemain-pemain kami. Tidak ada pilihan lain. Keputusan telah dibuat dan tidak mungkin diubah. Ini benar-benar mengecewakan," begitu keterangan pers Ferguson di Kuala Lumpur, mengumumkan pembatalan lawatan MU ke Jakarta, saat itu.
Wajah Ferguson terlihat menyesal, tetapi seperti biasa, tetap dingin.MU sempat menawarkan laga uji coba lawan pemain timnas dalam seragam "Indonesian All Stars" dialihkan di Kuala Lumpur. Tetapi, tawaran itu ditolak PSSI. Hilang sudah kesempatan emas bagi sepak bola di Tanah Air, tetapi roda MU berjalan seperti biasa dan normal.
Musim berikutnya, 2009-2010, mereka kehilangan gelar Liga Inggris, tetapi berhasil merebutnya kembali pada musim 2010-2011, sekaligus melewati rekor 18 trofi Liverpool di kancah Liga Inggris dengan pencapaian 19 trofi juara liga. Pada titik itu, tercapai sudah misi yang dicanangkan Ferguson saat pertama kali tiba di markas MU 6 November 1986, yakni meruntuhkan dominasi Liverpool di panggung sepak bola Inggris.
"Knocking them off their perch", demikian ungkapan terkenal Ferguson saat pertama kali tiba di Manchester untuk menandingi keperkasaan Liverpool saat itu. Butuh hampir seperempat abad Ferguson mengubah lanskap sepak bola Inggris.
Pertanyaannya, apa yang membuat pria Skotlandia itu mampu mewujudkan ambisinya mengubah peta sepak bola Inggris, juga Eropa? Nilai-nilai atau pelajaran apa yang bisa kita petik dari perjalanan Ferguson selama 25 tahun memimpin MU? Mungkin itu yang ingin kita, publik sepak bola di Tanah Air, dapatkan dari cerita sukses Ferguson bersama MU selain hiburan laga-laga yang dia suguhkan bersama klubnya.
[caption id="attachment_141996" align="aligncenter" width="464" caption="Tribun sisi utara Stadion Old Trafford diberi nama "][/caption]
Etos kerja
Ketika Ferguson didatangkan ke Old Trafford pada 6 November 1986, atas rekomendasi Bobby Charlton (legenda MU yang saat itu salah satu direktur klub tersebut), MU dalam kondisi limbung. Setahun sebelumnya mereka memang juara Piala FA. Tetapi, bulan November saat Ferguson tiba itu, MU di bawah Pelatih Ron Atkinson di ambang degradasi.
Tambahan lain, sudah 19 tahun mereka nirgelar di panggung liga. Atkinson dipecat, digantikan Ferguson. “Saat pertama kali saya melihatnya, saya pikir, dia mampu menghidupkan (sepak bola),” kenang Charlton dalam wawancara dengan Associated Press, belum lama ini.
Karier Ferguson sebagai pemain (1957-1974) relatif kurang dikenal. Dalam usia 32 tahun, ia banting stir menjadi pelatih. Tetapi, baru enam tahun kemudian namanya mulai mencuat saat membawa klub Aberdeen menjuarai Liga Skotlandia, menembus dominasi Rangers dan Celtic selama belasan tahun. ”Go for their bloody throats,” begitu mantra Ferguson untuk melecut semangat pemain Aberdeen saat itu.
Ferguson mulai menarik perhatian Charlton saat Aberdeen (klub kecil di panggung Eropa) memukul Real Madrid 2-1 di final Piala Winners 1983. Sukses itu tak mengubah pikiran Charlton untuk tetap merekomendasikan Ferguson, bulan November itu, kendati beberapa bulan sebelumnya timnas Skotlandia di bawah polesan Ferguson tampil juru kunci grup penyisihan Piala Dunia 1986 Meksiko.
”Dia punya etika kerja dan tidak takut mengambil keputusan,” kata Charlton soal karakter Ferguson. ”Dia mampu mengubah sebuah tim hampir secara keseluruhan dan hasilnya berupa tim yang lebih bagus. Dia seperti punya kemampuan sulap.”
Bagaimana gaya Ferguson melatih pada hari-hari pertamanya di MU, bisa disimak pada cerita John Sivebaek, bek MU yang memberi Ferguson kemenangan pertama di MU lewat gol tunggalnya ke gawang Queens Park Rangers, 22 November 1986. ”Saat kami keluar di tempat latihan, cepat terlihat bahwa inilah pelatih yang punya gagasan jelas dan tahu betul apa yang diinginkannya,” tutur Sivebaek, bek asal Denmark itu.
”Dia punya sistem, metode, dan ide-ide sendiri, tetapi juga mau mendengar sebelum membuat keputusan. Memang butuh waktu untuk menyusun tim yang tepat. Tetapi, dia merinci kepada pemainnya tentang bagaimana cara mencapai hal-hal tertentu dan pemain-pemain seperti apa yang dia butuhkan agar ide-idenya bisa berjalan.”
[caption id="attachment_141978" align="alignright" width="464" caption="John Sivebaek, bek Denmark yang memberi kemenangan pertama pada awal-awal kepelatihan Sir Alex Ferguson di Manchester United. Ferguson tidak pernah lupa atas kontribusinya. (GETTY IMAGES)"][/caption]
Sivebaek sendiri tidak lama bermain di bawah asuhan Ferguson, yakni hanya 31 laga, sebelum dijual ke klub Perancis, St Etienne. Soal itu, Sivebaek melanjutkan ceritanya, ”Kami tidak pernah saling menjelekkan. Dia bilang bahwa dia masih berfikir saya pemain yang sangat bagus dan bisa tetap bertahan (di MU), tetapi dia tidak dapat menjanjikan tempat utama dalam tim.”Perpisahan yang indah.
Sisi-sisi manusiawi
Cerita lain bisa kita dengarkan dari Gary Pallister, bek MU pada 1989-1998; pemain veteran yang hingga kini masih bermain, Ryan Giggs; atau pemain baru seperti Javier “Chicharito” Hernandez. ”Dia 95 persen selalu hadir dalam latihan-latihan dan menuntut latihan dalam intensitas tinggi. Dia sangat perhatian pada hal-hal detil dan memastikan itu harus dijalankan, mengamati pemain seperti elang, dan merancang secara pasti apa yang diinginkannya dari Anda dan tim,” papar Pallister.
”Dia bilang pada kami, dia tahu ke mana kami akan menuju. Kami hanya diminta tetap loyal dan jujur pada diri sendiri dan pemain lain. Betapa besar tekanan yang dihadapinya, dia tidak pernah melemparkannya pada kami.”
Salah satu kesan paling mendalam yang dirasakan Giggs pada Ferguson adalah etos kerjanya. ”Saran terbaik yang dia berikan pada saya? Kerja keras,” kata Giggs. ”Dan dia selalu memberi contoh. Dia selalu orang pertama datang di tempat latihan dan orang terakhir yang meninggalkan lapangan.
”Kita mungkin pulang dari laga tandang kompetisi Eropa jam empat pagi. Dapat dipastikan, dia orang pertama yang muncul di Carrington jam 08.00 di hari berikutnya dan orang terakhir yang meninggalkan lapangan.” Adapun ”Chicharito”, generasi pemain MU mutakhir, lebih terkesan pada sentuhan manusiawi dari Ferguson.
”Setiap hari dia akan bertanya pada saya, bagaimana keadaan saya, apakah saya baik-baik saja, atau mungkin saya butuh sesuatu,” ujar Chicharito. ”Dia pertama-tama memandang diri Anda sebagai manusia dan setelah itu Anda sebagai pesepak bola.”
Berbagai analisis telah dipaparkan untuk mengungkapkan rahasia di balik sukses Ferguson. Salah satunya, soal kemampuannya beradaptasi, mengombinasikan dua sisi yang terlihat seperti kontradiktif dan kemauannya untuk mengikuti arus perubahan. Di ruang ganti, ia kerap digambarkan sebagai sosok diktator. Di sisi lain, ia tak segan beradaptasi dalam taktik permainan.
Di ruang ganti itu pula, satu hal yang tidak pernah luput dalam setiap pembicaraan soal Ferguson adalah kebiasaannya “menyemprot” pemain dengan kata-kata keras dan makian jika performa mereka dianggap tidak sesuai harapan. “The Ferguson Hairdryer”, begitu istilah populernya.
[caption id="attachment_141989" align="alignleft" width="460" caption="Derek Sutton (paling kanan), sopir bis Manchester United, disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali menjadi sasaran "][/caption]
Namun, tahukah Anda bahwa orang yang pertama jadi korban “hairdryer” Ferguson adalah sopir klub, Derek Sutton. Itu terjadi hanya 48 jam setelah Ferguson direkrut MU. Sutton adalah sopir bis MU maupun City saat menjalani laga tandang dan selalu duduk di bench tim. Saat Ferguson tiba di MU, ia langsung kena semprot dan harus minggir dari bench.
Salah satu insiden yang paling terkenal dan tak akan terlupakan, tentu saja, insiden di ruang ganti saat sepatu yang ditendangnya mengenai muka David Beckham. Insiden itu disebut-sebut salah satu pemicu hengkangnya Beckham ke Real Madrid.
“Hairdryer” itu, kata Ferguson, sekarang tinggal mitos. Ferguson menganggap dirinya kini sudah menjadi pria yang kalem. Ia bercerita, setelah timnya dipermalukan Manchester City 1-6 di Old Trafford belum lama ini, ia mengobati rasa pedih akibat kekalahan itu dengan menenggak segelas anggur merah, langsung pulang menemui istrinya, Cathy, dan hilanglah kekalutan pikirannya.
Tak ada sukses instan
Kini, setelah 25 tahun berjalan, Ferguson menyumbang 37 trofi (termasuk 12 gelar Liga Inggris, dua trofi Liga Champions, lima gelar Piala FA, dan satu trofi Piala Dunia Antarklub) setelah --usai kemenangan 1-0 atas Sunderland di Liga Inggris, Sabtu (5/11)--mengarungi 2.050 laga dengan hasil: menang 844 kali, seri 314 kali, kalah 252 kali dengan mencetak 2.579 gol dan 1.189 gol kebobolan.
Jika melihat pencapaian itu, orang mungkin akan geleng-geleng kepala. Namun, kebanyakan orang lupa semua itu tidak diraih dalam waktu cepat dan instan. Ia butuh waktu hampir empat tahun untuk memperoleh trofi pertamanya di MU, yakni trofi Piala FA 1990, dan baru tiga tahun kemudian juara Liga Inggris.
Bahkan, satu hal yang hingga kini tak pernah dilupakan Ferguson, laga pertamanya melawan Oxford United pun dia lewati dengan kekalahan 0-2. Selama bertahun-tahun, dia pula yang membangun akademi sepak bola MU yang melahirkan sejumlah bintang kelas dunia semacam David Beckham, Paul Scholes, Ryan Giggs, Gary Neville, dan lain-lain.
Proses yang tidak instan inilah yang kerap dilupakan kebanyakan orang termasuk kita di Tanah Air. Seperti sudah jamak terdengar, setiap pelatih yang gagal memberi kemenangan atau trofi, suara-suara pemecatan kerap mencuat.
Ketika Alfred Riedl gagal member trofi Piala AFF 2010, suara-suara itu terdengar di balik ruang jumpa pers. Begitu pun saat Wim Rijsbergen baru melewati dua-tiga kekalahan, suara-suara pemecatan itu kembali mengapung. Bukan berarti kita tidak berharap adanya prestasi berupa trofi juara, tetapi yang seharusnya tidak boleh dilupakan: tidak ada yang instan dalam mengukir prestasi di dunia sepak bola.
"Kami tidak pernah berfikir untuk memecatnya (Ferguson)," tegas Charlton. Hanya Ferguson sendiri yang tahu, kapan ia akan memutuskan pensiun dari MU. "Yang bisa saya katakan, saya masih berharap untuk 25 tahun ke depan," ujar Ferguson. Luar biasa!
Contact and follow me: http://twitter.com/MhSamsulHadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H