Lihat ke Halaman Asli

Mh Samsul Hadi

TERVERIFIKASI

Bienvenue... No Coin, No Trolley

Diperbarui: 26 Juni 2015   20:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bienvenue A Geneve! Ucapan di sampul depan leaflet di Bandara Internasional Geneva menyapa setiap pengunjung yang mendarat di kota paling ujung barat Swiss itu. Perasaan pun lega, setidaknya masih cukup banyak waktu untuk mengurus akreditasi dan persiapan meliput partai Portugal versus Turki. Tapi, hati ini belum sepenuhnya plong: tanpa visa Swiss, apakah ada kesulitan melewati pintu imigrasi Geneva?

Pesawat itu menyentuh landasan Bandara Internasional Geneva sekitar pukul 10.30. Cuaca cerah di kota itu, membuat pertandingan kedua Euro 2008 antara Portugal versus Turki bakal enak ditonton. Di bandara itu, terlihat pesawat maskapai Turki telah bersandar.

Pasti banyak suporter Turki yang akan hadir di Stadion Stade de Geneve, tempat laga itu digelar. Di dalam pesawat, menjelang pintu dibuka, juga tampak beberapa penumpang memakai kostum tim Portugal. Pesta Euro 2008 mulai terasa.

Pintu imigrasi itu agak unik. Tidak seperti umumnya pintu-pintu imigrasi di bandara Tanah Air, di mana meja petugas berjajar, di Bandara Geneva hanya ada dua petugas. Keduanya duduk di kamar kaca berbentuk tablet. Hanya dua jalur antrean yang tersedia. Siang itu, antrean tidak panjang. Hanya menunggu dua atau tiga penumpang, saya mendapat giliran diperiksa petugas.
Salah satu petugas sempat berbisik ke telinga rekannya. Tak lama kemudian, ia memukulkan stempel imigrasi ke paspor tanpa visa Swiss itu. Plong sudah hati ini! (Herannya... saya berkali-kali mencari stempel imigrasi Geneva di paspor, kok tidak ada).

Dari pengamatan sekilas, Bandara Geneva tidak terlalu besar. Itu setidaknya jika mempertimbangkan status Geneva sebagai kota markas organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga internasional. Area kedatangan bandara itu tidak lebih luas daripada Bandara Juanda Surabaya.
Namun, dalam hal kebersihan dan kelengkapan fasilitas, jangan tanya. Seperti bandara-bandara lain di Eropa, tempat ini menyediakan shower untuk mandi. Fasilitas sambungan internet juga tersedia, tetapi baru bisa dioperasikan dengan memasukkan koin. Tidak seperti di Changi yang menggratiskan penggunaan internet.
Bukan hanya internet, menggunakan troli saja untuk mengangkut koper pun tidak gratis. Lepas dari pintu imigrasi, seperti penumpang lainnya, saya mengantre di tempat pengambilan barang di bagasi. Di samping tempat itu, terdapat troli-troli yang berderet memanjang, seperti halnya di tempat pengambilan bagasi di Bandara Cengkareng.
Namun, troli-troli itu ternyata terikat satu sama lain dan baru bisa dilepaskan dengan memasukkan dua sen Swiss Franc (CHF). Sepertinya tidak ada yang gratis di Swiss. Sistem ini tentu ada kelemahannya. Bagi penumpang dari negara lain yang tidak siap dengan koin mata uang lokal, itu amat merepotkan. Jika mengalami hal-hal seperti ini, terasa betul betapa hidup di Indonesia seperti tinggal di surga.
Demam Euro 2008 terasa

Di area kedatangan itu, berbagai atribut Euro 2008 terlihat di sana-sini. Suporter kedua tim yang akan bertanding, yakni Portugal dan Turki, telah berdatangan dan mondar-mandir berseliweran. Di tempat itu, ada dua meja stan petugas resmi Euro 2008. Di dua tempat itulah, semua informasi tentang penyelenggaraan Euro 2008 di Geneva tersedia.
Perempuan petugas yang jaga saat itu mengatakan, tidak perlu membeli tiket kereta ke Stasiun Gare de Cornavin di Pusat Kota Geneva jika bisa menunjukkan boarding pass tiket pesawat. Ia juga menerangkan lagi, bagaimana mencapai Stadion Stade de Geneve, yakni dengan kereta ke Gare de Cornavin dan dilanjutkan dengan bus atau tram.
Meski informasi sudah didapat, bukan berarti semuanya berjalan mulus. Mengunjungi Geneva untuk pertama kali, ternyata tidak mudah menemukan stasiun di bandara itu. Maklum, bentuk stasiunnya berbeda dengan stasiun-stasiun di Jawa yang hampir selalu dijaga petugas berseragam. Mungkin ini menggelikan, tetapi saya harus berputar-putar ke sana kemari untuk menemukan tempat naik kereta, naik-turun eskalator, bahkan sampai nyasar ke tempat parkir mobil segala.
Masalah bertambah rumit karena tidak semua orang bisa berbahasa Inggris. Karena berbatasan dengan Perancis, warga Geneva umumnya berbahasa Perancis. Titik terang baru muncul setelah mendapati stan yang didesain mirip pecahan bola, tidak jauh dari loket penjualan tiket kereta.
Bandara itu terletak di sebelah barat laut pusat kota Geneva dengan jarak sekitar 6 kilometer. Harga tiket kereta dari bandara ke pusat Kota Geneva 3 Swiss France (CHF). Di samping loket itu, ada tempat penitipan koper yang saya manfaatkan untuk "memarkir" kopor berisi pakaian. "It's the first time you come to Geneva?" tanya perempuan Filipina yang juga akan menuju ke Stasiun Gare de Carnavin, Geneva, untuk menghadiri sebuah konferensi.

Kopor itu sengaja dititipkan karena, malam hari seusai meliput partai Portugal versus Turki, saya harus melanjutkan perjalanan ke Klagenfurt, Austria. Tidak ada booking hotel di Geneva. Begitulah rencananya, tetapi semuanya tidak berjalan mulus. Itu sebabnya mengapa perjalanan ini menjadi cerita. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline