Lihat ke Halaman Asli

Menciptakan APBN Berbasis Bhineka Tunggal Ika, By Won

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mindset berpikir kita harus dirubah, jangan semata pada ketika menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) akan memberikan dampak negatif terhadap masyarakat. Dalam politik kebijakan, pilihan kebijakan apapun selalu saja memberikan konsekuensi. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah ketika BBM naik, masyarakat dirrugikan secara ekonomi? Orang tentu berpandangan bahwa dengan naiknya BBM akan berimplikasi pada naiknya harga barang-barang sebagai efek domino dari kebijakan tersebut.

Tetapi yang sering dilupakan adalah kebijakan subsidi yang diterapkan selama ini justru menguntungkan kelas menengah ke atas. Lalu apakah masyarakat miskin merasakan dampak kebijakan subsidi selama ini? Tentu tidak, karena masyrakat miskin sangat sedikit memiliki kendaraan. Yang parah lagi BBM justru jauh dari kantong-kantong kemiskinan, hingga potensi subsidi tidak tepat sasaran sangat luar biasa merugikan semangat hak rakyat tidak mampu dalam konsep subsidi yang sebenarnya.

Kita jangan memandang kebijakan menaikkan BBM adalah kebijakan jangka pendek hi-

ngga kelompok tertentu masuk pada wilayah isu populis semata,menaikkan BBM  Ini adalah bagian dari bagaimana orang kaya memsubsidi orang miskin. Secara faktual, kebijakan subsidi selama ini lebih banyak dinikmati oleh pemilik kendaraan pribadi, yg notabene adalah kelas masyarakat yang mampu secara ekonomi. Logikanya tidak ada org yg memiliki kendaraan roda empat yg secara ekonomi miskin.
Namun yg perlu dikoreksi, pemerintah cukup menaikkan BBM jenis premium namun BBM jenis solar dan minyak tanah penting untuk dipertimbangkan karena bersentuhan langsung dengan masyarakat kecil, terutama sector nelayan.

Tinggal kita masuk pada pilihan persentase kenaikan tersebut apakah 500, 1000 atau 1500 rupiah. Kalau 500 rupiah, maka negara hemat sekitar 19 triliun, kalau 1000 rupiah, negara hemat 38 triliun dan kalau 1500, negara hemat 57 triliun dengan asumsi harga minyak perbarel 110 sampai 115 dolar Amerika.
Catatan kritis sesungguhnya adalah penting ada evaluasi terhadap pemerintah dalam subsidi BBM, karena sederhana saja, pertamina yang bertugas mendistribusikan BBM subsidi saja ternyata tidak punya SPBU-SPBU dtitik kemiskinan, atau dpelosok-pelosok yang butuh subsidi, NKRI tidak sekedar Jawa dan Bali kan?. Kenaikan BBM ini sesungguhnya tidak jadi masalah bila subsidi BBM tepat sasaran, orang miskin dan tidak mampu yang mana yang menerima dan merasakan subsidi?. Atau subsidi hanya sebuah kejahatan lain dalam merasionalkan APBN atas nama rakyat. Selama ini pertamina hanya mengedepankan konsep komersil, jauh dari pelayanan, sedangkan pertamina mengelola BBM subsidi, hak rakyat tidak mampu.

Secara umum, APBN dari tahun ke tahun belum maksimal mendorong pertumbuhan ekonomi.. Meskipun pertumbuhan ekonomi setiap tahun ada kenaikan, tetapi belum berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Yang cukup menyedihkan, pertumbuhan ekonomi justru disokong oleh konsumsi masyarakat. Kedua, postur APBN masih didominasi oleh belanja rutin (belanja pegawai), yang tentu saja memberikan implikasi negatif terhadap fungsi alokasi pada belanja modal dan belanja barang.

Padahal, semestinya belanja modal dan belanja barang yg orientasinya pada perbaikan infrastruktur publik menjadi minim. Padahal kedua belanja ini punya kaitan langsung dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, program dan kegiatan pemerintah sangat minim yang berbasiskan pada kebutuhan masyarakat. Sehingga tidak mengherankan bila program dan kegiatan pemerintah hanyalah bersifat "berulang" yang menyebabkan terjadinya inefisiensi dan optimalisasi program.

Keempat, serapan anggaran kementerian yang selalu kejar tayang. Rata-rata serapan anggaran kementerian pada semester awal tidak maksimal karena proses administrasi pada level birokrasi sangat berbelit. Serapan anggaran pada kementerian baru dilakukan secara maksimal saat akhir tahun, yang notabene akan memasuki tahun anggaran baru. Kelima, mekanisme pembahasan APBN yang cenderung telat sehingga jadwal pembahasan APBN semestinya diubah dan lebih dipercepat pada awal tahun. Keenam, tingginya kebocoran anggaran dalam tiap tahun karena praktek rent seeking (pemburu rente) sehingga terkesan bahwa APBN hanyalah instrumen bagi pejabat publik dalam memburu kepentingan pragmatis. Ketujuh, sektor penerimaan dalam APBN yang tidak maksimal.
Contoh konkrit Sumatera Barat, dengan masing-masing kabupaten/kota dan potensi lokal nya, mari kita evaluasi DAK nya disektor-sektor yang menjadi potensi lokal daerah dimana masyarakat dapat terlibat langsung. Ini cermin postur APBN belum berbasis keindonesiaan secara menyeluruh dalam bingkai bhineka tunggal ika, konsistensi kita dalam berbangsa tercermin dalam APBN kita yang masih copy paste.

Dalam Politik kebijakan anggaran sebetulnya adalah cerminan atas komitmen pemerintah dan legislatif dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Dokumen APBN menjadi kontrak sosial antara negara dengan rakyat. Bila merujuk pada reformasi keuangan negara, sejak UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, maka sistem penganggaran kita mengadopsi sistem penganggaran yang berbasis kinerja yang menggantikan sistem penganggaran tradisional. Hanya saja, karakterisitik sistem penganggaran kita saat ini terlalu rigid dan tidak fleksibel, sangat berbeda dengan negara lain yang relatif fleksibel.

Ciri dari sistem penganggaran yang dianut saat ini adalah sistem penganggaran defisit yg menggantikan ciri penganggaran berimbang. Tetapi ironis meski sistem penganggaran kinerja dipandang cukup ideal dibandingkan dengan sistem yg lain, tetap saja punya celah dimana aspirasi publik sering direduksi menjadi program transaksional antara pemerintah dengan legislatif. Disinilah biasanya ego legislatif ditemukan. Atas nama publik (meski hanya daerah tertentu) legislatif berani menekan pemerintah meskipun sebetulnya tidak terdapat dalam perencanaan pemerintah. Yang kian parah ketika legislatif juga ikut menjadi perencana program akibat adanya sistem penjatahan di tiap-tiap pos anggaran.

Sistem penjatahan dalam tiap-tiap pos anggaran ini jugalah yang membuat pembahasan APBN selalu alot tiap tahun sehingga terkadang membuat APBN dalam penyelesaiannya tidak tepat waktu. Selain itu, dalam postur APBN terkadang banyak dana-dana siluman yang beredar, meskipun itu harus dibarengi dengan kondisi perekonomian bangsa dan dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline