Hari Jumat hingga larut malam masih memberi beberapa instruksi, memonitor berita serta update hal strategis sektor di WAG Kelompok Pimpinan, Sabtu pagi kemarin jam 4 subuh sudah siap di Bandara Soetta menuju Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur, untuk meresmikan beberapa proyek yang menyentuh kehidupan langsung masyarakat bawah seperti penyediaan sumur bor di daerah sulit air, lampu tenaga surya hemat energi (lampu listrik gratis untuk masyarakat tidak mampu serta jauh dari jaringan distribusi kelistrikan), dan penerangan jalan umum berbasis tenaga surya.
Ini adalah proyek proyek Kementerian ESDM dalam bingkai Energi Berkeadilan, yakni penyediaan energi secara terjangkau dan merata. Sesuai arah kebijakan Presiden RI Jokowi dalam Nawacita, energi harus tersedia secara terjangkau dan berkesinambungan di seluruh pelosok Nusantara. Itulah esensi pengamalan kemanusiaan sekaligus keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terkadang saya membatin. Kekuatan energi apa yang dapat menggerakkan Pak Ignasius Jonan -- Menteri ESDM yang cekatan dan seperti punya cadangan stamina rahasia ini, dapat melakoni pekerjaan enam sampai tujuh hari seminggu, blusukan hingga ke pelosok pelosok Nusantara. Kami, semua anggota rombongannya, seperti tertular -- oleh binar semangat dan celetukan segar cerdas khas pak Jonan.
Selalu begitu. Saya duga beliau punya beberapa buku referensi -- semacam the art of small talks, yang dapat mencairkan suasana. Tidak bersekat. Namun tetap perfecto. Menurut buku yang pernah saya baca, kecerdasan dan IQ tinggi seseorang antara lain dicerminkan oleh kemampuan komunikatif yang memikat, berkesan dan lama diingat.
Setelah mendarat di Kupang, bertukar pesawat berbaling baling ke Maumere Flores, pagi itu Pak Jonan memberi kuliah umum di STFK Ledalero, salah satu sekolah tinggi filsafat terkemuka di Indonesia yang telah menghasilkan 19 uskup dan ratusan imam. Saya telah beberapa kali mengikuti kuliah umum pak Jonan, di berbagai komunitas seperti pebisnis, profesional, kadet muda militer atau kalangan pesohor selebriti.
Namun, saya kira menjelaskan kebijakan energi kepada para kader pelayanan surgawi tidaklah mudah. Saya kuatir kali ini pak Jonan akan sedikit canggung, normatif atau mungkin kikuk berhadapan dengan para Imam, Uskup maupun mahasiswa civitas akademika penikmat ilmu ilmu abstrak misterius seperti filsafat itu. Ternyata saya keliru.
Pak Jonan benar benar master of the stage. Mengawali kuliah umumnya, beliau bercerita bahwa ayahnya mengharapkannya menjadi imam, menjadi pelayan umat yang memberi pengabdian seutuhnya kepada kemanusiaan. Namun keinginan itu kandas karena pak Jonan tidak memiliki panggilan jiwa menjadi biarawan. Kepada para mahasiswa, pak Jonan berpesan "agar yang sudah masuk seminari tinggi hendaknya terus menjadi imam. Kalau gagal, jadinya kayak saya". Ini langsung mengundang tawa hadirin.
Pak Jonan melanjutkan, akhirnya sang ayah luluh dan terenyuh juga setelah puluhan tahun. Karya fenomenal pak Jonan semasa memimpin kereta api mengkonfirmasi, mendispensasi dan merekonsiliasi ekspektasi orang tua beliau itu, yang ditandai dengan pertama kalinya mau hadir ke tempat kerjanya.
Setelah menayangkan filem singkat tentang capaian Kementerian ESDM dalam 4 tahun terakhir untuk mewujudkan energi berkeadilan, yaitu penyediaan energi secara merata dengan harga terjangkau, meningkatkan penerimaan negara, sekaligus memacu pertumbuhan dan investasi, pak Jonan langsung meminta tanggapan audiens. Beliau bilang itu sejalan dengan adagium, satu gambar bermakna seribu kata, satu filem bermakna seribu gambar.
Benar saja. Tidak kurang dari lima pertanyaan kritis diajukan ke beliau. Tajam menukik, terkadang agak seperti mazhab yang kekiri-tengahan. Tidak percuma motto sekolah tinggi ini adalah "diligite lumen sapientiae" yang bermakna cintailah cahaya kebijaksanaan.
Para penanya tersebut umumnya adalah imam dan pelayan umat. Saya duga, tanggung jawab panggilan pelayanan di tengah umat yang serba berkekurangan, mendorong mereka menyuarakan gugatan gugatan kritis mengenai kebijakan Pemerintah di bidang Energi. Spektrum pertanyaan sangat luas, mulai dari yang lokal seperti penyediaan air bersih dan listrik, isu nasional seperti divestasi saham Freeport, pasal 33 UUD 45 hingga yang bersifat universal seperti tanggung jawab Indonesia sebagai warga bumi dalam konteks SDG (Sustainable Development Global -- Pembangunan Berkelanjutan).