Pinasa vs Jabi - jabi
Oleh : Sampe L. Purba
Pinasa, atau nangka ( bahasa ilmiahnya Artocarpus heterophyllus) atau jack fruit dalam bahasa Inggeris, adalah salah satu jenis pohon yang memiliki arti khusus dalam budaya Batak.
Nangka, dapat tumbuh hingga setinggi 20 - 30 meter, berdiameter hingga 1 meter, dengan daun lebar. Menyenangi curah hujan 1500 mm pada cuaca hingga 25C. Mulai berbuah pada usia tanaman 5 tahun, tidak mengenal musim. Usia produktifnya dapat melampaui dua tiga generasi manusia. Buahnya besar-besar dan montok, ranum menggantung berdesakan mulai dari batang tengah hingga ke dahan di pucuk. Enak.
Satu teka-teki Naposo Batak dahulu melukiskan metafora keindahan dan ranumnya buah pohon ini adalah "gantung mokmok, aha ma i ito".
Di berbagai daerah, seperti di sekitar pulau Jawa dan daerah Minang, nangka dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan, sayuran, uram rendang hingga gudeg. Nangka mentah, nangka matang semua tersaji enak.
Tidak demikian dengan di tanah Batak. Makanan Batak tidak terlalu variatif, tetapi lebih kepada fungsional. "Butong mangan, mahap marlompan" (kenyang makan, hingga begah makan daging). Sayuran tidak disebut. Hingga saat ini, di desa sekitar danau Toba, kalau ada kenduri, indikator kepuasan jamuan adalah makanan dan lauk, minus sayuran. Malah nilai plusnya adalah tuak/ nira sebagai dessert.
Tempat asal/ bona pasogit suatu klan/ sub percabangan marga disebut dengan bona pinasa (tanah asal leluhur). Komponis Bonar Gultom menggubah lagu yang sangat populer dan viral tahun 1960 an berjudul " Arga do bona ni pinasa ". Sering difestivalkan. Antar kecamatan, sekolah atau gereja. Pernah dioperette kolosalkan di ibu kota pertengahan 2012 berjudul "Arga do bona ni ni pinasa di akka na bisuk marroha" - Tanah leluhur bernilai tinggi, bagi mereka yang bijak bestari. Opera kolosalnya di JHCC waktu itu dibintangi oleh Chocky Sitohang dan Zivanna Letisya. Orangnya cantik.
Desa tradisional Batak, terdiri dari beberapa rumah yang masih satu Ompu. Sekeliling desa, ditimbun/ uruk dengan benteng tanah. Lobang bekas galian sekeliling berfungsi sebagai selokan pembatas ke desa.
Sekeliling benteng ditanami bambu diselang selingi pohon pinasa. Berfungsi sebagai penahan angin, panah musuh serta binatang buas. Keberadaan selokan akan memperlambat gerak musuh kalau terlanjur dapat menerobos gerbang desa. Konsep desain pertahanan desa ini, saya lihat mirip dengan pedesaan di sekitar Yunnan, pedalaman Selatan China di perbatasan Myanmar dan Himalaya.
Makna tinggi dan pentingnya tanah luhur, tidak hanya bagi berlaku bagi orang Batak. Orang Tionghoa mengenal tradisi mudik setiap imlek, penduduk Nusantara berlebaran, orang India berendam ke Gangga. Bahkan jauh sebelum tahun Masehi, Kaisar Romawi kunopun memerintahkan penduduk di imperiumnya untuk pencacahan jiwa, kembali ke kampung asal keluhur.