Pada dasarnya Teroris tidak berhak menikmati perlindungan hak asasi manusia (HAM). Kenapa? Karena Terorisme adalah sebuah aksi barbarisme yang tidak mengenal hak asasi. Teroris yang melaksanakan aksinya bertindak bukan untuk dan atas nama dirinya, melainkan atas nama bowher, Tuan, Ideologi atau cita-cita yang diwakilinya. Teroris telah menyerahkan tubuh dan jiwanya sepenuhnya demi misi yang diembannya.
Teroris tidak takut dengan kematian. Media bom bunuh diri adalah salah satu jalan tol tercepat yang diyakini memberi casualties dan efek ketakutan berantai, serta mempercepat sang teroris melenggang ke surga untuk menikmati bonusnya.
Teroris yang beroperasi di Indonesia telah menyatakan perang kepada Pemerintah dan aparat Pemerintah Indonesia. Aparat dilabeli sebagai thogut yang dianggap halal darahnya untuk ditumpahkan.
Mereka membawa misi untuk mendirikan suatu sistem khilafah yang menerabas batas-batas negara dan hukum yang diakui secara internasional. Teroris dalam melaksanakan misinya, menganggap sah dan halal melakukan banyak hal, seperti sabotase, pengeboman fasilitas umum, sanitasi air bersih, menyerang aparat, menyiksa dan menjagal korban di luar batas peri kemanusiaan, meledakkan diri di keramaian dan lain-lain. Itu sah-sah saja merupakan siasat dalam sebuah perang.
Karena teroris telah menyatakan perang, maka meresponnya harus dengan angkatan perang, dengan strategi kontra terorisme. BUKAN dengan Undang-undang Anti Terorisme !!!. Kekeliruan kebijakan dan paradigma yang diambil selama ini adalah karena mencoba mengatasi terorisme dengan pendekatan hukum. Hukum sipil lagi. Itu keliru.
Di dalam perang, yang berlaku adalah hukum perang. Garda terdepan dalam peperangan adalah Angkatan Perang, yang di Indonesia diwakili oleh TNI. Berdasarkan pasal 7 Undang-undang no. 34 tahun 2004 tentang TNI ("Undang-undang TNI") tugas pokok TNI adalah untuk melaksanakan operasi militer untuk perang, dan operasi militer selain perang. Pasal 7 ayat (2) b. mencantumkan secara gamblang operasi militer itu antara lain adalah MENGATASI AKSI TERORISME. Saya garis bawahi : MELAKSANAKAN OPERASI MILITER.
Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia ("Undang-undang Kepolisian") pada pasal 2 ayat 2 menyatakan Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tidak akan anda temukan dalam 44 pasal undang-undang kepolisian mengenai tugas polisi untuk memberantas terorisme.
Bagaimana dalam hukum perang ?. Hukumnya sangat jelas. Anda membunuh atau anda terbunuh. The survival of the fittest.
Apakah ada perlindungan HAM pada saat perang ?. Konvensi Geneva 1949 (Geneva Convention Relative To The Treatment of Prisoners Of War) mengenal dua jenis perlindungan kepada tawanan perang, yaitu terhadap kombatan dan non kombatan. Non kombatan adalah penduduk satu wilayah yang terjebak dalam zona perang, dan menjadi tawanan. Sedangkan kombatan adalah lawan berperang di medan perang yang bersangkutan. Kombatan lawan harus terdaftar dan diakui oleh Negara lawan sebagai pasukan reguler atau milisinya, untuk mendapatkan treatment (perlakuan) sebagai tawanan.
Bagaimana dengan teroris ? Mereka bukan merupakan warga non kombatan yang terjebak dalam sebuah peperangan. Apakah apabila mereka tertangkap berhak atas perlindungan HAM ?. Protokol konvensi Geneva hanya memberi pengakuan perlindungan kemanusiaan, kalau mereka adalah tentara atau milisi aktif dari suatu negara. Memangnya Negara mana yang mengakui para teroris laknat itu sebagai tentaranya ?
Teroris yang tertangkap atau menyerah, bukan penjahat sipil. Mereka adalah kombatan yang tertangkap dalam sebuah perang. Hukum peranglah yang menahan, mengadili dan mengeksekusinya. Bukan hukum sipil.