Freeport : konsentrat – smelter dan divestasi
Oleh : Sampe L. Purba
Pembangunan Smelter adalah satu isu yang mengemuka di PT Freeport Indonesia. Smelter adalah fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi meningkatkan kandungan logam seperti timah, nikel, tembaga, emas, dan perak hingga mencapai tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku produk akhir. Proses tersebut telah meliputi pembersihan mineral logam dari pengotor dan pemurnian melalui proses ekstraksi untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang berbeda dari mineral asal. Konsesi pertambangan Freeport - Papua menghasilkan konsentrat/ mineral mentah yang mengandung bijih tembaga dan precious metal (emas dan perak).
Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara mewajibkan Pemegang Izin Usaha Pertambangan Produksi untuk melakukan seluruh pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Freeport mendukung hilirisasi. Hal itu terlihat antara lain dengan ikut investasi pada pembangunan smelter tembaga pertama di Indonesia, yaitu PT Smelting yang merupakan perusahaan patungan dengan teknologi Mitsubishi dan konsorsium Jepang tahun 1996, dimana Freeport pemegang saham 25%. Namun kapasitas terpasang kilang itu hanya 300.000 metrik ton/ tahun, jauh dibawah level produksi Freeport. Berdasarkan operations update Feeport-McMoran – induk PTFI yang tercatat di bursa NYSE dengan kode FCX, menghasilkan 122 kilo ton per hari. Laporan Tahunan 2015 mencatat produksi 162.500 metrik ton per hari.
Terdapat tiga alasan utama yang tidak mendorong kondusif mulusnya hilirisasi sesuai dengan yang diharapkan. Pertama, adalah alasan Kontraktual. Berdasarkan klausul pasal 13 Perjanjian Kontrak Karya, apabila dijual sebagai Konsentrat, maka akan dikenai dengan persentase tarif royalti, dengan mengacu kepada harga tembaga (applicable copper price). Sedangkan apabila dilakukan pemisahan, maka terhadap emas atau perak (precious metal) akan dikenakan royalti dengan tarif pengali terhadap harga emas atau perak (applicable gold or silver price). Laporan Keuangan tahun 2016 menunjukkan dari Indonesia dihasilkan tembaga 1.054 juta lb x $ 2.32 = $.2.445 juta, dan emas 1.054 ribu ons x $ 1.237 = $ 1.304 juta. Kontrak juga tidak mewajibkan untuk membangun smelter.
Kedua, alasan Perpajakan. Apabila dilakukan pengolahan dan pemurnian, maka akan terekspose dan terhutang pajak pertambahan nilai (PPN). Berdasarkan pasal 4A Undang-undang PPN, barang yang tidak dikenai PPN antara lain adalah barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. Sedangkan proses smelting sudah jelas adalah untuk meningkatkan nilai tambah. PPN Pajak Keluaran besarnya 10% dari nilai penyerahan barang kena pajak. Di sisi lain, apakah dapat diperhitungkan (dikreditkan) terhadap Pajak Masukan dalam rangka menghasilkan konsentrat yang apabila dianggap sebagai bukan barang kena pajak, akan menambah komplikasi. Selain itu akan terekspose lagi dengan PPN atas jasa pengolahan dan pemurnian, maupun pungutan ekspor atas barang kena pajak. Sementara itu, Pajak terkait dalam Kontrak Karya hanyalah Pajak Penghasilan Perusahaan dan Pajak Penghasilan Karyawan.
Ketiga adalah pertimbangan teknis, operasional dan finansial. Pembangunan smelter memerlukan lahan dan infrastruktur pendukung seperti jalan, pelabuhan dan listrik yang stabil serta terjangkau. Justifikasi keekonomian dan aspek komersial serta investasi yang financially bankable juga mutlak. Informasi publik menyebut bahwa biaya pembangunan awal PT Smelting di Gresik menelan $750 juta, sedangkan apabila kapasitasnya ditingkatkan untuk dapat memproses konsentrat PTFI memerlukan tambahan biaya yang masih sangat besar lagi. Pasokan konsentrat yang stabil untuk jangka waktu lama juga harus ada kepastian. Karena itulah, maka Undang-undang memperbolehkan smelter dibangun oleh pihak lain. Dalam kasus Freeport, selain alasan objektif di atas, juga akan menambah komplikasi biaya pengapalan dan penanganan limbah, apabila fasilitas smelternya ada di Pulau Jawa.
Freeport McMoran memiliki anak perusahaan pengolahan konsentrat yang sepenuhnya dimiliki yaitu AtlanticCopper berbasis di Spanyol. Laporan Tahunan 2015 menunjukkan bahwa hanya 30% konsentrat yang diolah berasal dari produksi sendiri, sisanya adalah milik pihak lain dengan membebankan biaya pengolahan. Tidak diinformasikan apakah ada komitmen kontrak offtaker jangka panjang bagi PTFI untuk memasok konsentrat ke AtlanticCopper.
Publikasi FCX kepada pemegang sahamnya juga mengungkapkan dua informasi menarik. Yang pertama adalah bahwa atas produksi dari PTFI, apabila melewati jumlah tertentu, terhitung sejak tahun 2015 akan diproses oleh Ria Tinto, Inc. Rio Tinto, Inc. juga memiliki perikatan terhadap aset tertentu dari PTFI. Dalam laporan tahunan 2016 Rio Tinto, Inc tidak menunjukkan adanya konsentrat yang berasal dari Indonesia. Hal itu mengkonfirmasi bahwa level produksi dari PTFI belum mencapai tingkat dimana Rio Tinto dapat mengambil eksesnya.
Informasi penting lainnya adalah menjawab teka teki mengenai divestasi saham PTFI. Klausul mengenai divestasi hingga 51% sangat eksplisit dalam Kontrak Karya. Sama seperti IUPK dimana ada kewajiban divestasi juga hingga 51%. Namun FCX mengklaim bahwa sesuai pasal 24 Kontrak, apabila ada peraturan yang kemudian diterapkan Pemerintah, yang sifatnya lebih meringankan bagi Perusahaan, maka hal tersebut yang berlaku. PTFI merujuk kepada Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan Yang didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing, yang menyatakan bahwa saham peserta Indonesia cukup sekurang-kurangnya 5% dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian. FCX menegaskan, bahwa PTFI memanfaatkan aturan tersebut telah dikonfirmasi oleh BKPM dengan surat bertanggal 20 Maret 1997.
Cadangan terbukti di PTFI ada 26.9 milyar lbs, sedangkan cadangan emas sebesar 25,8 juta ozs , yang diperkirakan dapat ditambang dalam 24 tahun, lebih kurang persis sama dengan asumsi akan diperpanjang pengelolaannya hingga tahun 2041. Dengan asumsi harga tembaga $2,5/ lb dan $1.200/ oz untuk emas, Itu uatu jumlah yang cukup lumayan berarti. Di sisi lain, Laporan itu juga menyatakan bahwa 31% cadangan mineral FCX ada di Indonesia.