PETA kekuatan dunia telah banyak berubah. Dulu negara adikuasa dikuasai oleh dua negara, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Hampir dari segala aspek, kedua negara ini kerap bersaing. Amerika Serikat (AS) terus berupaya menanamkan ideologi liberal kapitakistik. Sementara Uni Soviet berusaha meluaskan pengaruh komunisme ke seluruh dunia.
Beragam cara ditempuh keduanya, antara lain menggelontorkan bantuan ekonomi dan propaganda politik. Tujuannya jelas, ingin memperoleh dukungan kekuatan dari banyak negara untuk mengukuhkan kedigdayaannya.
Akibat saling berebut pengaruh atas negara-negara di dunia ini pula akhirnya mereka terlibat perang dingin. Namun, pada akhirnya perang dingin ini berakhir setelah pada tahun 1991 silam, Uni Soviet pecah menjadi beberapa negara.
Dengan pecahnya Uni Soviet, Negara AS seolah menjadi raja diraja. Negara adikuasa benar-benar ada dalam genggamannya.
Nyatanya rasa jemawa itu tak berlangsung lama. Perlahan namun pasti, China terus membuktikan dirinya sebagai negara maju dan kuat. Puncaknya terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Negara Tirai Bambu mampu menggantikan peran Uni Soviet, terutama dalam bidang ekonomi.
China kini menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia baru penantang hegemoni Paman Sam yang sebelumya sulit ditiru apalagi ditandingi. Reformasi ekonomi yang mereka ciptakan telah membuat negara yang dipimpin Xin Jinping ini jadi negara adidaya.
Lalu bagaimana dengan Indonesia memanfaatkan situasi ini? Sebagai negara non blok, tentunya tidak bisa memihak salah satu pihak. Lagi pula, rasanya kurang menguntungkan bagi pemerintah jika harus memihak.
Dari sektor ekonomi, Indonesia sepertinya masih sangat membutuhkan bantuan China. Sementara dari segi pertahanan, Indonesia pastinya masih sangat membutuhkan kerjasama dengan AS. Diakui atau tidak, Negara Paman Sam ini masih yang terbaik dalam hal pertahanan.
Untuk bisa meraih keuntungan dari kedua negara adidaya tersebut, peranan Jokowi selaku presiden memang patut diapresiasi. Istilah kata, ia layak disebut King Maker.
Dalam hal ini, penulis yakin bahwa Presiden Jokowi paham betul adanya persaingan diantara kedua negara adidaya tersebut. Salah melakukan langkah politik atau kebijakan, Indonesia bisa jadi ditinggalkan oleh keduanya. Dan, ini sebuah kerugian besar.