KISRUH Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang masih terjadi hingga sekarang menyuguhkan dua politisi yang berlawanan sikap dengan partainya masing-masing. Ferdinand Hutahaean dari Partai Demokrat dan Fadli Zon dari Partai Gerindra.
Ferdinand sebagaimana diketahui telah mengundurkan diri dari pertai berlambang mercy karena menilai sikap politik mereka sudah tidak sepaham. Salah satu contohnya terkait UU Ciptaker.
Seperti diketahui, Partai Demokrat merupakan partai paling depan menolak terbitnya UU Ciptaker. Namun, hal tersebut justeru berbanding terbalik dengan sikap Ferdinand Hutahaean. Pria kelahiran Sumatera Utara, 18 September 1977 ini malah mendukung. Dalihnya, undang-undang "Sapu Jagat" ini sejalan dengan Pancasila demi masyarakat berkeadilan sosial.
Pada lain pihak, Partai Gerindra adalah salah satu partai yang turut menandatangani pengesahan UU Ciptaker. Lucunya, salah seorang kader partainya, Fadli Zon justru menolak produk undang-undang yang dianggap merugikan kaum buruh dimaksud.
Beda hal dengan Ferdinand Hutahaean yang mengambil sikap tegas dengan cara cabut dari partai ketika sikap politiknya tak sejalan. Fadli Zon sepertinya tak memiliki cukup nyali. Ia terus bersandar di Partai Gerindra, meski kerap sikap politiknya berlainan arah.
Rupanya beda sikap politik yang dipertontonkan oleh Ferdinand Hutahaean dan Fadli Zon ini memantik cerita yang mempertemukan keduanya dalam adu paham.
Kisahnya dimulai saat Fadli Zon melalui akun twitter pribadinya seolah melangkahkan pion caturnya untuk menyerang pemerintah. Ia geram atas penangkapan terhadap sejumlah anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) oleh aparat kepolisian.
Menurut mantan Wakil Ketua DPR RI periode 2014 - 2019 tersebut, penangkapan terhadap orang-orang yang tak sepaham dengan pemerintah merupakan praktik lama.
"Cara-cara lama dipakai lagi di era demokrasi. Perbedaan pendapat dan sikap dimusuhi dijerat, ditangkap," kata Fadli Zon. (Suara.com).
Masih dikutip dari Suara.com, Fadli pun menilai Indonesia harusnya malu bila masih menyebut diri sebagai negara demokrasi. Sebab, praktik di lapangan tak menunjukkan demikian.
"Malu kita pada dunia masih berani menyebut 'negara demokrasi'" ungkapnya.