SEJUJURNYA, penulis pernah mengakui mantan Presiden RI ke-5, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), sebagai salah seorang tokoh yang piawai dalam memainkan langkah atau strategi politik dan cakap dalam berkomunikasi.
Kepiawaiannya tersebut pernah dia buktikan pada tahun 2004 lalu, di mana SBY dengan berani menantang sang petahana sekaligus mantan boss-nya di Kabinet Gotong royong, Megawati Soekarnoputri.
Padahal, menurut beberapa sumber yang pernah penulis baca, SBY sempat mengatakan tidak akan mencalonkan diri pada Pilpres 2004, saat beberapa kali dikomfirmasi oleh Megawati.
Namun, diam-diam tanpa diketahui oleh putri sulung Presiden pertama RI, Ir. Sukarno tersebut, SBY tengah menyusun strategi untuk mencalonkan diri dan bersaing langsung dengan Megawati. Hasilnya, SBY melenggang mulus menuju kursi Indonesia 1.
Strategi yang digunakan SBY kala itu adalah dengan cara mengambil hati rakyat. Dia menempatkan diri seolah-olah menjadi korban yang dizalimi Megawati. Mayoritas pemilih di Pilpres 2004 itu berhasil diperdayai, sehingga memilihnya, dan dia menang.
Kemudian, saat Pilgub DKI Jakarta 2017, kemenangan Anies Baswedan - Sandiaga Uno, menurut hemat penulis bukan semata-mata karena kepiawaian partai politik pengusungnya, PKS dan Gerindra.
Tapi, diakui atau tidak adalah berkat kecerdikan SBY, yang telah memecah suara pemilih. Kala itu, bukan rahasia umum, dukungan terhadap pasangan calon petahana, Ahok - Djarot, sangat kuat.
Ya, saat itu secara mengejutkan, Partai Demokrat tidak berkoalisi dengan pihak manapun, melainkan mengajukan calonnya sendiri, yakni Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Jelas mengejutkan, karena kala itu siapapun tahu, putra sulung SBY ini bukan seorang politisi, tetapi seorang tentara berpangkat mayor, yang "dipaksa" ayahnya untuk nyalon.
Apakah SBY menargetkan menang? Saya rasa, tidak. Bagaimana ada chance menang, AHY yang disandingkan dengan Sylviana Murni, sama sekali belum memiliki elektabilitas dan popularitas apapun.