PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) sebagaimana diketahui sempat memanggil atau mengundang Wakil Wali Kota Solo, Ahmad Purnomo, ke Istana Presiden.
Pemanggilan ini terjadi sehari sebelum putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka diumumkan sebagai calon dari PDI Perjuangan untuk maju pada Pilwakot Solo 2020.
Dalam pertemuan tersebut diberitakan, bahwa Presiden Jokowi memberitahu Ahmad Purnomo, yang mendapat rekomendasi DPP PDI Perjuangan untuk maju pada Pilwakot Solo 2020 adalah Gibran.
Sekedar mengingatkan, sebelumnya terjadi rivalitas seru antara Ahmad Purnomo dengan Gibran, dalam memperoleh kepercayaan dari pihak pengurus pusat partai berlambang banteng gemuk moncong putih itu. Dan, akhirnya kompetisi tersebut dimenangkan oleh Gibran.
Sontak, adanya pertemuan Presiden Jokowi dengan Ahmad Purnomo ini menjadi perbincangan hangat dan diskursus menarik sejumlah kalangan. Timbul anggapan, bahwa orang nomor satu di republik ini telah sewenang-wenang mengggunakan fasilitas negara demi kepentingan pribadi.
Bukan hanya itu, penilaian terhadap mantan Wali Kota Solo tersebut juga cukup beragam. Mulai dari anggapan telah melakukan tindakan sewenang-wenang dengan memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan politik putra sulungnya, hingga berniat memupuk suburnya dinasti politik di tanah air.
Boleh jadi benar, kalau muncul anggapan, Jokowi telah menggunakan fasilitas negara demi kepentingan pribadi.
Pasalnya, jika maksud Jokowi sebatas hendak memberitahu soal siapa yang direkomendasi oleh DPP PDI Perjuangan, sejatinya bisa dilakukan dengan cara lain. Misalkan melalui komunikasi lewat handphone, atau hal lainnya. Kecuali, memang ada hal-hal lainnya yang ingin didiskusikan.
Adapun soal dinasti politik, rasanya Jokowi tidak menyalahi aturan, karena pada dasarnya praktik-praktik melanggengkan kekuasaan sudah cukup tumbuh subur di negeri ini. Terlebih, Majelis Konstitusi (MK) pada 8 Juli 2015 secara tak langsung melegalkan dinasti politik. MK saat itu membatalkan Pasal 7 huruf (r) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang menerangkan, syarat calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati atau Walikota) tak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana.