Lihat ke Halaman Asli

Gibran dan AHY, Dua Putra Mahkota Beda "Kasta"

Diperbarui: 23 Juli 2020   18:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Republika

DINASTI politik atau mewariskan kekuasaan terhadap putra kandung dan kerabat sedarah, bukan perkara baru terjadi pada sistem pemerintahan modern seperti sekarang.

Dari sekian banyak negara yang melegalkan polistik dinasti, Indonesia termasuk di dalamnya. Bahkan, bisa dibilang, budaya melanggengkan kekuasaan ini sudah terjadi sejak beberapa dekade lalu.

Praktik ini makin subur setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada 8 Juli 2015 secara tak langsung melegalkan dinasti politik. MK saat itu membatalkan Pasal 7 huruf (r) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang menerangkan, syarat calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati atau Walikota) tak mempunyai  konflik kepentingan dengan petahana.

Fenomena politik dinasti yang terjadi selama ini, tak ubahnya politik kartel yang menganut politik balas budi, politik uang maupun politik melanggengkan kekuasaan. Dengan artian, kebebasan politik yang semakin terbuka ini, dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik untuk terus berupaya dengan segala akses demi menggapai kapitalisasi dan kekuasaan.

Tak berlebihan, jika sejumlah kalangan menilai, dinasti politik cenderung menyuburkan praktik nepotisme hingga melahirkan perkara rasuah.

Jika dikerucutkan, dalam satu dekade terakhir, praktik-praktik pelanggengan kekuasaan ini sama-sama dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia, yaitu Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi). Mereka berdua sama-sama mengorbitkan putra sulungnya pada kancah politik praktis.

Kedua putra sulung dimaksud adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Gibran Rakabuming Raka.

Agus Harimurti Yudhoyono

Seperti diketahui, SBY begitu antusias melanggengkan klan-nya pada AHY. Bahkan, mantan Presiden ke-6 ini sampai sampai berani menariknya dari dunia militer demi mengikuti kontestasi Pilgub DKI Jakarta 2017.

Sayang, niat SBY ini tak sesuai harapan. AHY tak mampu berbuat banyak. Dia hanya keluar sebagai juru kunci dari tiga pasangan yang ada kala itu.

Selepas gagal Pilgub DKI, AHY pun dilibatkan lebih jauh di kepengurusan partai Demokrat. Awalnya, dia dipercaya menjadi Ketua Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma). Kemudian, naik pangkat jadi Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, hingga akhinya di daulat menjadi ketua umum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline