Monika harus rela dirinya disiksa dan dipekerjakan laiknya budak seks oleh suaminya sendiri tatkala tiba di Cina.
Bayangan akan hidup bahagia dan bergelimang harta bila menikah dengan pria Cina melalui jasa pengantin pesanan (mail order bride) nampaknya harus sirna dalam sekejap.
September 2018 lalu, wanita asal Kalimantan Barat (Kalbar) dinikahkan dengan pria Cina melalui jasa pengantin pesanan dan berangkat ke Cina. Alih-alih mengharapkan hidup bahagia, monika justru sebaliknya. Di sana dirinya disiksa bahkan dilecehkan secara seksual oleh mertuanya sendiri.
Tak hanya itu, dirinya harus dipaksa bekerja di toko mulai jam 7 pagi hingga jam 6 sore. Dan pada jam 9 malam dirinya mendapatkan pekerjaan tambahan merangkai bunga. Mirisnya, upah hasil kerja kerasnya itu diterima suami ataupun mertuanya.
Kasus yang menimpa monika merupakan kasus perdagangan manusia dengan kemasan pernikahan pesanan dari luar negeri.
Lihat laporan lengkap VOA Indonesia
Pengantin Pesanan Vs Human Trafficking
Terkait kapan munculnya modus perdagangan manusia berlatar pengantin pesanan sendiri masih simpang siur. Ada yang menyebut akhir abad 20 ada pula yang berspekulasi diabad 21 dimana teknologi semakin berkembang.
Kendati begitu, tulisan karya Kathtryn A. Lloyd yang dipublish pada Northwestern Journal of International Law & Business setidaknya dapat menjelaskan awal kemunculan perdagangan manusia (human trafficking) bermodus pengantin pesanan.
Dalam tulisan berjudul "Wives for sale: The Modern Internasional Mail-Order Bride Industry", Kathryn menyebutkan tahun 1995 telah ada kurang lebih 500 perusahaan yang bergerak dibidang pengantin pesanan (hlm 345).
Dua perusahaan pengantin pesanan yang cukup terkenal saat itu adalah Life Mates dan Asian Flowers.