Sepanjang akhir bulan September hingga awal Oktober 2019, informasi yang betebaran baik di televisi maupun media sosial adalah seputar gerakan aksi mahasiswa. Bahkan seruan tagar seperti #gejayanmemanggil, #demomahasiswa hingga #stmmelawan sempat menjadi trending topic di twitter.
Bukan tanpa alasan, gerakan yang diklaim mencapai belasan ribu ini ditujukan untuk menagih janji pemerintah yang "semula" akan memperkuat KPK dalam pemberantasan korupsi.
Alasan lainnya, menyangkut pasal-pasal yang kontroversi dalam RKUHP yang akhirnya ditunda pengesahannya oleh Presiden Jokowi. Masalah penyelesaian diskriminasi di Papua juga termaktub di dalamnya.
Kendati hari ini, gerakan mahasiswa dan sekutu (STM) mulai mereda, banyak yang mulai membanding-bandingkan aksi terebut dengan aksi 1998.
Bahkan CNBC dalam artikel yang dimuat pada 24 September lalu, secara gamblang memembandingkan aksi mahasiswa 1998 dengan aksi mahasiswa 2019.
Seolah mengesampingan substansi dan tujuan dari aksi yang ada, CNBC membandingkannya dari segi jumlah masa aksi. Walau tidak menyebutkan jumlah yang pasti, CNBC menuliskan bahwa aksi mahasiswa 2019 berasal dari sejumlah universitas baik dari ITB, UPI, UIN Sunan Gunung Jati Bandung dan lainnya. -Tak lupa pula diikuti dengan kutipan langsung ala berita.
"Kami datang 5 bus, berangkat pagi tadi jam 2 dari Bandung," kata seorang mahasiswa UIN Sunan Gunung Jati Bandung dilansir dari CNBC
Sementara jumlah aksi mahasiswa 1998, secara hakulyakin CNBC menuliskan 9000 mahasiswa.
Memang membandingkan aksi 1998 dengan aksi 2019 dari segi jumlah masa aksi tak akan dikenai pasal. Apalagi pasal dalam KUHP yang masih "bermasalah". Walau begitu, saya lebih tertarik untuk membandingkannya dalam konteks sejarah.
Konfrontatif Vs Korektif
Aksi 1998 seolah menjadi oase bagi masyarakat Indonesia pada era itu. Akhir dari perjuangan tersebut ditandai dengan jatuhnya rezim orde baru dan mulainya era reformasi. Tali kekang yang selama 32 tahun membelenggu masyarakat akhirnya lepas, dan siapun dapat menjadi apa yang dia inginkan.