Ketika PLN mematikan aliran listrik, kita gelagapan. Semua aktivitas terhenti. Lalu-lintas semrawut. Ada orang yang terjebak dalam lift gedung.
Bahkan keluarga yang sedang bersenda-gurau bersama anak-anak menikmati kenyamanan MRT menjerit panik sebelum akhirnya berhasil dievakuasi dalam lorong gelap.
Peristiwa hari Minggu (4/8) lalu sangat merugikan kepentingan warga. Apapun alasannya, pemadaman massal di wilayah Jabodetabek, Jabar, dan sebagian Jateng merupakan tindakan yang tidak profesional, bahkan mencoreng muka pemerintah. Padahal BUMN ini memegang hak monopoli, ngurus listrik saja nggak beres.
Sesabar-sabarnya Jokowi, pria asal Solo ini bisa dan pantas marah. Mengapa orang-orang pintar di belakang PLN tak mampu menghitung dan mengantisipasi kemungkinan terburuk? Mengapa mereka tidak memiliki rencana kontinjensi dalam menghadapi krisis? Mengapa PLN terlalu lama mengatasi kerusakan? Untung saja Jokowi masih menyimpan kesabaran, tidak memecat direksi PLN, atau Menteri ESDM, atau Menteri BUMN.
KPK juga padamkan lampu
Di bidang penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sama kuatnya dengan PLN. Bahkan lebih kuat karena institusi ini bersifat independen.
KPK bisa menangkap siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Sejak dibentuk, KPK hampir tak pernah kalah dalam memperkarakan tersangka korupsi, apalagi kalau mereka tertangkap basah menerima suap.
Maka reputasi KPK memang terus melambung. Dalam berbagai survei, KPK menjadi salah satu lembaga paling dipercaya publik. Misi KPK memang sejalan dengan harapan rakyat, mengingat korupsi telah berpuluh tahun menjadi kanker ganas yang menggerogoti keuangan negara.
Sejak rezim Demokrasi Terpimpin, semi otoriter, dan demokrasi liberal sekarang ternyata praktek korupsi tetap saja merajalela. Pantas bila rakyat menyanjung KPK, seolah sebagai juru selamat.
Namun bukan berarti KPK selalu menang menghadapi gugatan mereka yang dijadikan tersangka. Ketua KPK Agus Rahardjo pernah mengatakan bahwa dari 57 perkara praperadilan sejak tahun 2004, KPK kalah dalam empat kasus.
Yaitu gugatan pra peradilan yang diajukan oleh mantan Kepala BPK Hadi Purnomo, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman, Komjen Pol Budi Gunawan, dan Mantan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin.