Meski sempat "ngomel" menerima putusan pembebasan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya melaksanakan keputusan Mahkamah Agung (MA).
SAT dibebaskan dari tahanan. Ia menghirup udara bebas, setelah sebelumnya dihukum 13 tahun oleh Pengadilan Tipikor, bahkan diperberat menjadi 15 tahun pada tingkat banding.
KPK tidak bisa berbuat lain kecuali membebaskan SAT dari tahanan. Bagaimanapun kesalnya, KPK harus menghormati putusan lembaga peradilan kasasi yang berkekuatan hukum tetap. Sesuai aturan yang berlaku, KPK tidak bisa melakukan upaya peninjauan kembali (PK) atas kasus SAT tersebut.
Bagi KPK, keputusan MA memang sangat menyakitkan karena selama ini tidak ada terdakwa yang bisa bebas dari jerat hukum, kecuali mereka yang memenangkan gugatan pra-peradilan. Sampai di situ jiwa besar KPK terlihat jelas.
Namun publik melihat KPK seolah menyimpan "dendam" untuk melanjutkan perkara penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) tahun 2004. Bukan SAT sebagai targetnya, melainkan orang lain yang dinilai "bersama-sama" SAT menyebabkan kerugian negara.
Dalam keputusan majelis hakim Tipikor atas SAT, hanya disebut "bersama-sama" tanpa menyebutkan siapa mereka. "Mengadili menyatakan terdakwa terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana penjara selama 13 tahun pidana denda Rp 700 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti kurungan tiga bulan," ucap hakim ketua Yanto saat membacakan putusan, Senin (24/9/2018) di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Atas alasan "bersama-sama" itu, KPK sudah menetapkan Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya, Itjih Nursalim (IN), sebagai tersangka. Awalnya, pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) itu dituding melakukan misrepresentasi atas pinjaman para petambak, namun kemudian ada tudingan bahwa IN berperan dalam proses perundingan sehingga keluar SKL BLBI-BDNI oleh BPPN masa kepemimpinan SAT.
Pemahaman umum, kalau pelaku utama tidak terbukti melakukan kejahatan, pelaku lain yang dikaitkan dan dipandang "bersama-sama" semestinya juga dibebaskan. Apalagi, SKL itu kan produk pemerintah. Pihak lain hanya menerima saja keputusan itu.
Belum satu pandangan
Sejauh yang bisa diikuti dari pemberitaan media, para pimpinan KPK terlihat tidak satu pandangan mengenai apa yang akan ditempuh komisi setelah putusan MA tersebut.
Agus Rahardjo berkata ada dua perkara yang harus tuntas akhir tahun ini. Yaitu kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan e-KTP. "Semaksimal mungkin kita selesaikan. Jadi seperti BLBI kita kan sudah menersangkakan baru ya, jadi insya Allah itu bisa selesai sebelum kita meninggalkan tugas. Perkembangan kasus e-KTP juga begitu kita sudah menaikkan beberapa tersangka baru," kata Agus di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (1/7).
Agus belum bicara secara spesifik mengenai putusan kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung. Ia berharap kasus-kasus yang telah ditangani KPK dilanjutkan oleh pimpinan KPK yang baru. "Mudah-mudahan nanti paling tidak untuk kasus berikutnya lebih terbuka bisa diselesaikan oleh pengganti kami," ujar Agus.