By ; ahun
Baru satu bulan saya bekerja disalah satu perusahaan yang berada di Kedoya,Jakarta Barat. setelah dua tahun malang melintang menjadi freelancer, akhirnya menemukan pekerjaan rutin. Rutinitas yang teratur menjadi santapan mental setiap hari. Pola aktivitas yang teratur seperti bangun pagi, sarapan, dan berangkat kerja serta bergelut dengan emosi akibat kemacetan jalan raya. Problematika tersebut sepertinya tidak akan usai dalam waktu dekat, karena saya juga memiliki misi tertentu untuk “menamakan” nama saya.
Dahulu, ketika bekerja seagai freelancer jam kerja yang tidak menentu bukanlah hambatan. Lagi pula saya tidak harus berada di ruangan kerja setiap hari. Pun begitu dengan pekerja lain, saya tidak perlu mengingat namanya terlalu lama. Karena akan lupa ketika projek berakhir, jadi peduli apa saya mengenai tabiat para pekerja freelancer. Namun kali ini berbeda, saya terkurung di ruang, waktu dan lokasi yang sama dalam waktu lama. Tabiat, sifat, karakteristik para pekerja pun menjadi masalah yang menurunkan etos kerja.
Sebagai orang baru, saya mencoba ‘menyetel’ dengan lingkungan sekitar. Diam adalah bahasa universal untuk menunjukkan kesopanan , dan keseganan, antara sesama pekerja yang lebih senior. Tutur bahasa dikontrol sebisa mungkin untuk berkamuflase dengan baik. Sehingga nantinya diterima dikhalayak pekerja dan dianggap.
Dalam bertutur kata, baiknya sebagai individu yang sama posisi sebagai pekerja memiliki aturan baku,agar keharmonisan berkomunikasi terjaga dan tidak menggangu kesehatan kejiwaan. Saya pikir permasalahan seperti ini kurang diperhatikan dalam aturan main pekerja. Seharusnya secara sadar kata yang dituturkan mencerminkan kepribadian tetapi adakalanya pada kondisi tertentu terucaplah umpatan-umpatan tidak sengaja yang dapat mengakrabkan atau malah menyakiti perasaan.
Tekanan, sarkasme dan bully
Bekerja pada sector formal tentunya memiliki hierarki kekuasaan. Tangga kekuasaan tersebut dimulai dari pekerja lapangan, back office, kepala divisi, kepala department, group head, manager, hingga pemilik perusahaan dsbg. Tentunya masing-masing memiliki beban tugas, sehingga dapat menekan ataupun ditekan oleh posisi tertentu. Tidak begitu masalah bagi individu dengan tugas masing-masing hanya saja akan terasa berat ketika sudah tertekan, jika tertekan beban pekerjaan yang berlebih maka akan berakibat pada stress.
Bentuk tekanan pekerjaaan yang sering dijumpai dan dialami adalah tenggat waktu pekerjaan (dead line). Dead line yang tidak terkejar ditambah lagi dengan tambahan pekerjaan dari atasan akan menambah buruk mood. Pada beberapa pekerja kondisi ini akan mengakibatkan stress namun masih dapat dilakukan selama tidak adanya kekerasan verbal dalam bekerja. Kekerasan verbal dapat berbentuk perkataan sarkasme dari atasan. Kata seperti hewan, alat kelamin, persetubuhan, dan lainnya mungkin akan dijumpai. Hal seperti itu luput dari aturan perusahaan dan minim dari sangsi, hanya sangsi sosial saja yang berlaku. Itupun diketahui dari desas-desus gossip yang beredar di sesama pekerja.
Perilaku sarkasme yang dibiarkan dalam waktu lama karena adanya perbedaan kelas pekerja. Dapat juga dikategorikan sebagai bully. Bully sendiri tidak hanya berupa pada kekerasan verbal yang dilakukan namun juga beban pekerjaan. Bentukan lain dari bully adalah penambahan pekerjaan yang diberikan oleh atasan yang pada kenyataannya pekerjaan tersebut adalah tugas atasan namun dilimpahkan kepada bawahan. Jika anda mengalami kejadian seperti ini maka lawanlah dengan kalimat seperti ini ; “inikan pekerjaan anda, lalu anda bekerja apa? Anda digaji untuk bekerja bukan!? Jika pekerjaan anda dan saya sama maka gaji dan posisi kita sama!”
Pengaruh terhadap karwayan
Saya kira perilaku tersebut sering kita jumpai meskipun telah berganti posisi ataupun tempat kerja. Perilaku diatas tadi tentunya akan membuat lingkungan kerja menjadi tidak nyaman. Pada tingkat ekstrem pekerja yang mengalami perilaku seperti itu akan keluar dari perusahaan dan memilih kerjaan lain. Lebih jauh, tingkat resign yang tinggi pada perusahaan tentu mencerminkan ketidak adanya loyalty dari pekerja. Tentunya kerja ekstra para human research development (HRD) akan tinggi dalam menyeleksi calon karyawan baru. Belum lagi, pekerja sebelumnya meninggalkan deadline yang tidak selesai. Efek domino ini tentunya berakibat buruk, namun saya tidak akan membahas itu.
Aturan akan perilaku kekerasan verbal rasanya perlu diterapkan di seluruh perusahaan. Mengingat imange perusahaan dimata pencari kerja, competitor, rekanan, maupun lainnya. Terlebih lagi beberapa karwayan lebih memilih untuk dirumahkan padahal dari pada bekerja dengan kondisi seperti itu, meskipun karyawan tersebut belum memiliki pekerjaan pengganti. Tentunya dengan pilihan aksi seperti itu maka tinggkat pengguran akan bertambah.
Lingkungan kerja yang sehat juga didukung dari kondisi mental pekerja, juga komikasi yang ada didalamnya. Sehingga sebisa mungkin karwayan memiliki sense of belonging kepada perusahan dan mencintai perusahaannya. Saya sebagai pekerja tidak hanya mencari uang, namun mencari kenyamanan dalam bekerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H