Kearifan lokal ‘Sasi’ merupakan suatu tradisi masyarakat negeri atau desa adat di Maluku, dibentuk dengan maksud untuk menjaga dan melestarikan potensi sumber daya alam, baik sumberdaya alam hayati maupun non hayati. Sasi berfungsi sebagai wadah pengamanan terhadap sumber daya alam dan lingkungan untuk membentuk sikap dan perilaku masyarakat, merupakan suatu upaya untuk memelihara tata krama hidup bermasyarakat dan melestarikan sumber daya alam.
Sebagai suatu tradisi budaya, sasi juga dianggap sebagai suatu tatanan hukum adat yaitu ketentuan yang mengartur tentang larangan memasuki, mengambil atau melakukan sesuatu hasil dalam suatu kawasan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula (Warawarin et al. 2017). Sasi juga dianggap sebagai suatu budaya masyarakat Maluku yang berisikan norma yang mengarahkan hak kepemilikan sumberdaya alam untuk dikelola secara bersama oleh masyarakat negeri, dan dianggap sebagai suatu kearifan lokal yang tumbuh dan terpelihara sejak masa lampau (Sangadji, 2010).
Kearifan lokal masyarakat adat sasi ada dalam pengelolaan sumberdaya alam di Maluku mengandung nilai-nilai kebaikan dan kebijaksanaan. Selalu ada keseimbangan antara manusia dan alam sekitarnya. Di berbagai desa atau negeri masih banyak terdapat masyarakat hukum adat, terdapat kearifan local budaya yang sangat kental dalam pengelolaan sumberdaya alamnya terutama yang berbasis lingkungan. Budaya sasi, yang masih terpelihara sampai dengan saat ini adalah salah satu wujud nyata pengelolaan sumberdaya alam berbasis lingkungan (Rugebregt, 2013).
Menurut Lokollo (1988) sebagaimana yang dikutib oleh Hijjang (2012) dikatakan bahwa sasi merupakan pranata (aturan) yang sudah lama berlaku di Maluku, ketentuan ini telah ada sejak dahulu kala, tidak jelas sejak kapan sasi itu mulai dikenal, karena data dan informasi yang autentik tentang hal itu tidak diketemukan.
Menurut cerita rakyat khususnya di Haruku, pranata ini diperkirakan telah dikenal sejak tahun 1600. Diuraikan pula bahwa sasi di Maluku dapat ditemukan dibeberap daerah seperti di Pulau Buru, Ambon, Seram, dan Lease, Pulau-Pulau Watubela, kepulauan Kei dan Aru, kepulauan di Barat Daya Maluku, kepulauan Maluku Tenggara, dan di Pulau Halmahera.
Menurut Pattinama dan Pattipeilohy (2003), sasi merupakan tradisi masyarakat yang memiliki nilai hukum yang substantif yaitu larangan untuk tidak mengambil hasil laut maupun hasil hutan sampai pada waktu tertentu. Sasi dapat miliki nilai hukum, karena memiliki norma dan aturan yang berhubungan dengan cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat yang memuat unsur etika dan norrma. Nilai-nilai hukum yang substansial dalam sistem sasi sebagai inti dari hukum adat tersebut sebagai berikut: (a) Penggunaan hak seseorang secara tepat menurut waktu yang ditentukan. (b) Mencegah timbulnya sengketa antara sesama negeri. (c) Pemeliharaan dan pelestarian alam demi peningkatan kesejahteraan bersama. (d) Kewajiban untuk memanjakan hasil laut dan darat. (e) Mengurangi timbulnya kejahatan berupa pencurian sumberdaya alam.
Istilah sasi berasal dari kata sanksi (witness) mengandung pengertian tentang larangan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu tanpa izin dalam jangka waktu tertentu, yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Biley dan Zerner, 1992; Etlegar, 2013). Sasi adalah larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya kelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati. Sasi merupakan bentuk aturan pengelolan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang telah dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Maluku.
Sasi rupakan kearifan lokal tradisional yang hadir dalam sosok peraturan adat yang mpertahankan nilai-nilai lama dalam menjaga kelestarian lingkungan yang sudah berkembang sejak abad XVII. Sasi sebenarnya tidak tergolong kepada katagori kata yang mempunyai makna larangan atau suruhan yang bersifat langgeng dan menetap, namun istilah tersebut hanya menekankan pada suatu larangan yang temporal (Fadlun, 2006). Dengan demikian sasi memiliki dimensi temporal dan lambang (atribut) yang sama-sama membuat institusi sasi mengikat.
Upaya pelestarian lingkungan hidup bagi masyarakat Maluku sudah di laksanakan sejak dulu. Hal ini dibuktikan dengan salah satu budaya masyarakat Maluku yang melarang pengambilan hasil-hasil potensi tertentu dengan atau tanpa merusak lingkungan. Kegiatan larangan pengambi lan hasil-hasil potensi ini oleh masyarakat Maluku di kenal dengan sebutan ”SASI”.
Sasi merupakan suatu tradisi masyarakat negeri di Maluku, untuk menjaga hasil-hasil potensi tertentu. Bila sasi dilaksanakan, maka masyarakat dilarang untuk memetik buah-buah tertentu di darat dan mengambil hasil tertentu dari laut selama jangka waktu yang ditetapkan oleh pemerintah desa (Frank L. Cooley, 1987; Judge et al. 2008).
Lokollo (1988) menjelaskan bahwa sasi itu sendiri secara harafiah berarti larangan. Suatu benda atau barang disasi berarti benda tersebut dilarang diganggu, dilarang untuk dirusak atau diambil. Secara umum sasi merupakan ketentuan hukum tentang larangan memasuki, mengambil atau melakukan sesuatu dalam suatu kawasan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula.