Pernah dengar istilah Toxic masculinity? seperti, "masak kan cuma buat cewek.", "pink warna cewek.", "jangan nangis kayak cewek."
Toxic masculinity adalah suatu tekanan budaya bagi kaum pria untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu, dengan kata lain arti kata maskulinitas yang mengidentifikasi seorang pria dengan sifat yang tegas, agresif dan tidak boleh menunjukan emosi secara terang-terangan.
Berikut adalah beberapa contoh sifat atau sikap toxic masculinity
- Tidak boleh menangis
- Menunjukan tindak kekerasan pada orang lain
- Sungkan melakukan hal aktivitas yang dianggap seperti wanita
- Tindakan beresiko seperti kebut-kebutan dalam berkendara dianggap lelaki sejati
Pemikiran tersebut beradaptasi dengan cepat, dari identifikasi di atas masyarakat cenderung melebih-lebihkan standar kejantanan seorang pria, dalam beberapa kasus mereka yang memiliki pola pikir tersebut beranggapan sewaktu mereka masih anak-anak selalu melihat aktifitas seperti memasak, menyapu, dan lain sebagainya dilakukan oleh ibu mereka.
Kita ambil contoh memasak. Banyak orang mengatakan memasak adalah tugas seorang wanita bukan pria, dan hingga berspekulasi "jika tidak bisa memasak tidak usah menjadi wanita" dan begitu juga sebaliknya "Seorang pria seharusnya bekerja bukan memasak" dan penerapannya masih terdengar hingga sekarang. Kalimat itulah yang mendorong para pria untuk tidak mau memasak, dan bahkan hingga terkena judgemental. Padahal memasak adalah skill survive yang harus dimiliki seseorang untuk bertahan hidup.
Mengapa toxic masculinity berbahaya?
Toxic masculinity bisa berbahaya karena membatasi definisi seorang pria, selain itu juga dapat menghambat seseorang untuk mengekspresikan dirinya dalam beremosi, hal ini dapat menghambat pertumbuhannya dalam bersosialisasi bermasyarakat. Jika seorang pria tumbuh dalam ranah pandangan sempit seperti toxic masculinity , ia akan merasa tidak diterima lingkungannya jika tidak menunjukan sifat toxic tersebut.
Toxic masculinity dapat meningkatkan resiko:
- Gangguan mental
- Kurangnya simpati dan empati
- Kekerasan Sexual
- Penyalahgunaan obat-obatan
- Memendam emosi
Dampak toxic masculinity bisa menyebabkan depresi hingga bunuh diri pada korban yang mengalami, stigma maskulin di masyarakat yang didukung budaya patriarki. Masyarakat juga dihimbau agar dapat melakukan edukasi terhadap bahayanya toxic masculinity di kehidupan sosial masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H