Lihat ke Halaman Asli

Samdy Saragih

Pembaca Sejarah

Pudarnya Pesona Obama

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun 2008 boleh dibilang tahunnya Barack Obama. Saat itu perhatian dunia tertuju pada pilpres Amerika, dari pemilihan awal hingga pelantikan presiden terpilih. Perhatian itu mungkin dilatarbelakangi krisis ekonomi yang terjadi di Amerika, yang kemudian menjalar ke negara-negara Eropa dan Asia. Obama membangkitkan optimisme karena dia berbeda partai dengan Presiden Bush.

Tapi juga bukan hanya itu. Pribadi Obama adalah daya tarik lain. Amerika yang menjadi rujukan demokrasi, tapi rupanya belum pernah punya presiden kulit hitam. Seluruh dunia seolah berharap, Amerika dapat menjadi contoh di mana kesetaraan itu dipraktekkan, tidak sekedar tertuang dalam kata-kata.

Impian dunia akhirnya terwujud. Senator Obama mengalahkan John McCain, yang juga adalah senator. Bagi orang Amerika, Si Anak Menteng ini diharapkan dapat segera memperbaiki perekonomian, serta permasalahan turunannya. Bagi kalangan liberal, mereka mau melihat dukungan Obama pada kaum homoseksual sebagaimana janji kampanyenya.

Bagi warga dunia, permasalahan ekonomi bukan utama. Mereka mau melihat bagaimana komitmen presiden baru ini pada perdamaian dunia dan perang terhadap terorisme. Obama berjanji akan menutup pangkalan Guantanamo yang sadis itu. Juga akan memulangkan tentara Amerika dari Irak, yang diyakini olehnya sebagai sebuah kesalahan. Perang yang benar adalah Afganistan, di sanalah seharusnya tentara Amerika dikirim.

Orang Israel berharap cemas apakah Obama "keluar jalur" dengan mendukung Palestina dan Iran. Entah disengaja atau tidak, Israel pun menyerang Gaza yang menewaskan seribu orang Palestina, pada akhir tahun 2008. Rakyat Iran paham, Obama akan sama saja dengan pendahulunya yang melarang Negeri Mullah itu punya senjata nuklir. Di sini, di Indonesia, banyak orang yang berharap agar Obama punya perhatian lebih terhadap negeri yang pernah ditinggalinya ini.

Itulah "sedikit" ekspektasi orang di seluruh dunia terhadap pemimpin sebuah negeri adidaya. Semua ini tergambar jelas dalam liputan media, tajuk rencana, penulisan opini selama hampir setahun. Orang non-Amerika yang sebelumnya berpikir bahwa pilpres Amerika adalah pemilihan langsung, menemukan fakta baru. Kita tiba-tiba dikenalkan dengan istilah "electoral college", "pemilihan pendahuluan", "konvensi", dan mungkin beberapa negara bagian Amerika selain New York, California, dan Texas.

Semua perhatian ini seolah dilegitimasi oleh majalah Time yang menjadikannya sebagai People of the Year tahun 2008. Sedangkan Panitia Nobel, latah juga dengan sindrom Obama, yang lantas memberinya hadiah Nobel Perdamaian tahun 2009. Entah perdamaian apa yang telah dibuatnya.

Tapi, mudahnya orang berharap padanya tidak sebanding dengan apa yang telah dihasilkannya dari Gedung Putih. Sepuluh persen angkatan kerja belum mendapatkan apa yang mereka impikan: pekerjaan. Pertumbuhan ekonomi Amerika tidak tinggi-tinggi amat. Belum lagi defisit perdagangan dengan Cina yang belum teratasi.

Itu rakyat Amerika. Dunia lebih kecewa lagi. Benar apa yang dikatakan oleh Ahmedinejad, bahwa tidak Obama tidak Bush, sama saja. Di Amerika presiden bukanlah pribadi, tapi sistem. Pribadi boleh barganti tiap empat atau delapan tahun, tapi sistem tidak. Kebijakan Amerika yang selalu melindungi Israel adalah harga mati. Iran pun harus menanggung kebijakan ini, dengan tidak boleh memiliki nuklir, sekalipun untuk tujuan damai, yang dapat mengganggu mengganggu Israel di Timur Tengah.

Sempat kita tahu suara hati Obama ketika pada bulan Mei tahun lalu mengatakan bahwa perdamaian Israel-Palestina haruslah berlandaskan batas sebelum tahun 1967. Seketika, kementrian luar negeri Amerika langsung membantah. Obama harus meralat kata-katanya, setelah Benyamin Netanyahu berpidato di Kongres Amerika. Kita bisa bayangkan bagaimana cepatnya lobi Yahudi bekerja, sampai seorang Presiden negara adidaya harus kehilangan muka.

Di Indonesia, orang-orang sudah kecewa duluan. Selain kunjungan tahun 2010, bakso, sate, terima kasih, hubungan Indonesia-Amerika berjalan seperti sedia kala. Dulu hampir semua orang di sini geer, membayangkan Amerika yang dipimpin seorang Anak Menteng. Tapi rupanya ini hanya lamunan Kabayan belaka. Justru Amerika yang dapat manfaat dari Indonesia, ketika Obama pulang dari Bali membawa oleh-oleh pesanan 200 pesawat Boeing dari Lion Air.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline