Lihat ke Halaman Asli

Samdy Saragih

Pembaca Sejarah

Java Cu(ap-cua)p

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Dua hari sudah laga persahabatan Persebaya vs Queens Park Ranger berlalu. Tapi sampai sekarang saya masih menyimpan tanya yang belum terjawab dan tampaknya takkan memperoleh jawab: Mengapa LPIS terlibat?

Barangkali kalau kita bertanya pada pihak LPIS, tentu mereka punya jawabannya. Sedangkan pihak Persebaya mau tak mau akan mengiyakan. Dengan kata lain, pokoknya alasannya pasti ada!

Tapi orang yang mengerti pasti tidak akan bisa menerima jawaban apapun dari LPIS. Saya tidak perlu mencari tahu ke sumber berita karena saya sudah tidak terlanjur percaya. Pangkal soal sudah jelas, bahwa saya punya asumsi: orang Surabaya, Panpel Persebaya, bahkan Pemkot Surabaya sekalipun tidak perlu diragukan kemampuannya dalam event organizer. Semenjak Persebaya ke LPI, nyaris sumber permasalahan utama (baca: ulah bonek) tidak terlalu mengkhawatirkan lagi. Hanya ada sekali kasus, itupun tak lebih dari kegenitan polisi sendiri, yaitu dalam pertandingan IPL antara Persebaya melawan Persija di Tambak Sari.

Karena alasan ini, sudah pasti orang Surabaya sendiri akan mampu menghelat sebuah pertandingan level internasional dengan baik. Tidak perlu ada supervisor atau bahkan penyelenggara dari luar kota untuk menanganani pertandingan Persebaya vs QPR.

Namun, semua cerita menjadi lain. Tiba-tiba bukan Ram Surrahman yang biasanya menjadi panpel Persebaya, tapi Abi Hadisantoso yang justru nongol. Dengan kata lain, pihak LPIS, alias orang luar kota lah yang bertanggung jawab pada laga internasional tersebut.

Kemudian terbukti bahwa LPIS justru membuat semuanya berantakan. Di Surabaya banyak sekali muncul suara tidak puas kepada pihak penyelenggara. Puncaknya adalah insiden mati lampu yang membuat kota Surabaya mendapat citra negatif. Tentu saja bukan pemkot, atau Persebaya yang patut disalahkan atas semua ini. Tapi LPIS, "orang asing" yang sudah mendapat sorotan atas ketidakecusan mengurus IPL. Seolah-olah dengan menjadi panpel pertandingan besar di Surabaya, mereka ingin memperbaiki nama baik. Tapi apal lacur, LPIS seperti menggali lubang untuk kematiannya sendiri.

***

Jika insiden GBT tak akan mendapat jawabannya, lain lagi dengan satu kasus yang tak kalah memalukannya. Sama-sama tingkat internasional, tapi lebih banyak peserta: Java Cup. Jauh-jauh hari semua pencinta sepak bola Indonesia menanti penuh harap terselenggaranya turnamen ini. Everton, Galatasaray, dan Malaysia menjadi magnet yang sangat memikat.

Tapi, beberapa hari lalu muncul kabar bahwa salah satu peserta, Galatasaray, membatalkan keikutsertaaanya. Alasannya cukup membuat kita geli yakni kurangnya ongkos partisipasi. Galatasaray dijanjikan uang 1 juta dollar. Tapi rupanya uang segitu sudah termasuk tiket yang nilanya mencapai 600 ribu dollar. Sebagai klub dengan reputasi mentereng di Turki dan Eropa, wajar saja Galatasaray mengabil keputusan seperti itu.

Bukannya membujuk dan bernegosiasi agar mereka mengurungkan niatnya, penyelenggara malah membiarkan begitu saja. Akhirnya, tim yang bermarkas di Istambul itu pun sudah memastikan tidak akan ikut serta.

Galatasaray boleh pergi, tapi masih ada Everton. Paling tidak klub ini bisa menjaga gengsi turnamen. Sebagai pengganti dipilihlah timnas senior Indonesia. Sebagian orang menganggap pembatalan ini sebagai berkah, karena menambah pemanasan timnas yang akan berlaga di AFF.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline