Cobalah kita perhatikan tiga liga elit Eropa: Liga Inggris, Liga Spanyol, dan Liga Prancis. Berturut-turut pemuncak sementara liga-liga tersebut adalah Manchester City, Real Madrid, dan Paris Saint-Germain. Ketiga klub itu punya keterkaitan. Apakah itu?
Kalau para interisti ditanya, mereka akan spontan menjawab: Inter Milan! Ketiga klub besar tersebut mendapatkan posisi terhormatnya ketika sedang "dipegang" oleh tiga mantan pelatih Internazionale Milan. Roberto Mancini dipercaya menukangi The Citizens sejak tahun 2009; Jose Mourinho melatih Kaka cs.,sejak tahun 2010; dan Leonardo dipercaya sebagai direktur teknik—yang mengurusi transfer pemain—di PSG tahun ini. Hebatnya lagi, mereka ditarik klub-klub itu langsung dari Inter, tanpa singgah terlebih dahulu ke klub lain.
Tapi interisti akan tiba-tiba sedih hatinya tatkala menoleh ke klasemen Serie A. Klub kebanggaan mereka mengalami nasib yang bertolak belakang karena saat ini Inter berada di posisi 17, hanya satu trip dari zona degradasi. Kekelahan dari Juventus (1-2) di San Siro Minggu dini hari kemarin mengubur mimpi untuk memperbaiki posisi di klasemen. Orang-orang pun mulai ada yang berpikir jangan-jangan peraih Treble Winner 2010 itu akan hilang dari panggung Serie-A musim depan.
Tentu saja tidak ada orang di muka bumi ini yang ingin Inter tergusur. Kalaupun ada, orang itu pastilah Luciano Moggi, mantan direktur umum Juventus yang terang-terangan masih belum sembuh dari dendam membaranya kepada Inter Milan. Atau mungkin beberapa orang yang mau Inter mengakhiri rekor sebagai satu-satunya klub di Italia yang belum pernah turun kasta. Orang-orang ini sedikit jumlahnya.
Sebagian besar pecinta Lega Calcio tentu berharap Inter segera bangkit di pekan-pekan berikutnya. Kalaulah Inter tak bisa meramaikan perebutan scudetto, paling tidak Inter masih bisa membuat gengsi Liga Italia terjaga. Agak aneh sebetulnya melihat klub paling berpengaruh di lima musim terakhir di awal kompetisi jatuh terjerembab ke lembah keterpurukan.
Namun semua itu bisa berbalik seandainya pemain, pelatih, manajemen Inter punya keinginan kuat untuk melestarikan sejarah. Para pemain ada baiknya mengerti nama besar Inter lebih tinggi ketimbang kebintangan satu-dua orang. Inter yang ada sekarang tampak kehilangan gairah dan militansi. Kalau kita perhatikan, sebagian besar pemain yang ada saat ini merupakan anggota tim yang setahun lalu menguasai Eropa. Semangat juara seharusnya masih menyelimuti diri mereka. Begitu pula pemain baru yang pastinya ingin meraih sukses perdananya di klub ini.
Selain pemain terkadang permasalahan ditimbulkan juga oleh manajemen. Massimo Moratti tentu tidak bisa disalahkan ketika dengan tiba-tiba Leonardo mengundurkan diri menjelang awal musim. Dari beberapa pelatih yang dibidik, ternyata ada yang menolak untuk menukangi klub sebesar Inter. Gasperini pun, yang tidak punya pengalaman melatih tim besar, menjadi pilihan terakhir.
Namun apa daya, Gasper masih minim jam terbang. Kekalahan beruntun membuat manajemen Inter meminang Ranieri. Sebetulnya saya merasa aneh pada pilihan ini. Kalau alasannya ada pada kemampuan Ranieri yang konon "hanya bisa memperbaiki peringkat tapi tak bisa juara", boleh jadi masuk akal. Tapi kalau dilihat secara psikologis, Ranieri sebetulnya bukan orang yang tepat.
Gelar Pertama
Selama dua musim, 2008/2009 dan 2009/2010, The Tinkerman adalah pelatih dua klub yang jadi musuh bebuyutan Inter merebut scudetto yakni Juventus dan AS Roma. Lebih parah lagi, Ranieri kerap beradu mulut dengan Jose Mourinho kala itu. Bagi pemain, rasa hormat pada pelatih seperti ini jelas berkurang karena bagaimanapun Mou adalah kesayangan pemainnya. Pandangan itu berakibat pada permainan lapangan yang setengah-setengah dan suasana kamar ganti yang tak nyaman.
Tapi mungkin inilah pilihan terbaik yang ada. Saya berharap sudah saatnya pemain memberikan segalanya buat klub. Pikiran aneh-aneh untuk hengkang ke klub lain sudah harusnya ditunda. Samuel Eto'o mungkin dapat menjadi contoh baik. Meski sudah hengkang ke Anzhi dengan menyandang penerima gaji terbesar sejagat, Eto'o mengutarakan keinginannya untuk dipinjamkan ke Inter selama libur kompetisi Rusia. Tidak ada alasan paling logis untuk menjelaskan hal ini selain karena rasa cinta Eto'o pada klub yang dibelanya selama dua musim itu.