Lihat ke Halaman Asli

Samdy Saragih

Pembaca Sejarah

Kita Munafik

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sekarang semua orang sibuk bicara kejujuran. Media massa memberitakannya tanpa henti setelah Siami, si Arek Suroboyo, berani mengadukan kecurangan Unas di sekolah anaknya.

Saya tidak habis pikir, mengapa baru sekarang? Kasus nyontek massal bukanlah sebuah rahasia segelintir orang ataupun sekolah. Semua manusia Indonesia dari pengemis jalanan hingga penghuni Istana di Jakarta sesungguhnya sudah tahu bahwa bangsa ini bangsa penyontek!

Perihal guru menyuruh anak didiknya untuk memberi jawaban ke teman, hanyalah tingkat paling rendah ketidakjujuran di sekolah. Tingkat yang lebih tinggi lagi misalnya guru memberi langsung jawaban pada murid-muridnya. Bahkan yang paling buruk: guru membetulkan kunci jawaban siswa sebelum dikirim ke penguji. Alih-alih mengajarkan kejujuran, para gurulah yang sebenarnya tidak jujur.

Banyak orang menduga kasus sontek disebabkan Ujian Nasional yang memberi tekanan luar biasa bagi para siswa. Katanya, ujian yang hanya beberapa jam tidak patut menentukan kelulusan pendidikan yang ditempuh selama 3 atau 6 tahun. Anak-anak didik menjadi stres hingga ada yang bunuh diri akibat tak kuat menanggung malu. Saran untuk menghapus Unas pun muncul.

Saya pikir, bukan di sini letak permasalahannya. Saya masih ingat ketika saya SD di mana tidak ada standar kelulusan yang dipakai. Tapi, kecurangan tetap terjadi. Guru memberi langsung jawapan pada murid beberapa menit sebelum ujian berakhir. Saya kira di daerah lain pun sama.

Lalu apa sebab karakter tak jujur bangsa ini?

Tidak Individualis

Ada baiknya kita pelajari karakter bangsa ini. Antropolog ternama, Koentjaraningrat pernah berkata bahwa salah satu kelemahan prinsip gotong royong adalah tidak ada penghargaan pada prestasi individu. Sampai sekarang siapa pencipta lagu Rasa Sayange tidak ada yang tahu sehingga kita kelabakan tatkala Malaysia mengklaimnya. Bagitu pula produk budaya dan seni lainnya.

Gotong royong menurut Bung Karno merupakan karakter asli bangsa. Karena itu manusia Indonesia selalu tergantung pada orang lain. Muncullah istilah "kebersamaan" yang bak kata sakti. Konsep kebersamaan ini bisa berarti setiap orang "memikul sama berat; menjinjing sama ringan". Manusia Indonesia seakan bangga apabila mereka memiliki nasib yang sama dengan manusia lainnyabila perlu nasibnya sama-sama jelek. Kita pun tidak punya keinginan untuk "berani tampil beda" dengan orang lain.

Kasus sontek sebenarnya berhulu pada konsep kebersamaan ini. Para orang tua tidak mau anaknya tak lulus ujian. Mereka tidak kuat menanggung beban yang teramat berat apabila melihat anak tetangga bersorak girang. Takut membayangkan situasi ini, para orang tua mau tak mau memaksa anaknya untuk belajar keras. Kalau pun tidak berhasil, sang anak diperkenankan menyontek jawaban teman atau pemberian guru.

Para guru tentu sami mawon. Sebagian besar guru adalah orang tua juga. Mereka merasa kasihan pada anak murid karena tak bisa membayangkan apabila mereka menjadi orang tua si murid. Akhirnya, sang guru mau tak mau "menjual" segala kejujuran dan kebaikan yang diajarkannya dalam tempo beberapa jam. Selain itu, mereka juga tak kuat menanggung malu apabila sekolahnya tidak lebih baik dari sekolah tetangga. Lagi-lagi prinsip "kebersamaan".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline