Lihat ke Halaman Asli

Samdy Saragih

Pembaca Sejarah

Presiden Berlumuran Darah

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengapa Barack Obama mendapat hadiah Nobel Perdamaian? Kalau kita ingat kembali penganugerahan Nobel terhadap Obama pada akhir 2009 yang lalu, begitu besar harapan di pundaknya. Sebagai presiden yang latar belakangnya multiras, dia diharap mampu mewujudkan perdamaian di muka bumi —yang kadang diidentikkan karena faktor SARA —yang urung terjadi.

Orang sudah terlanjur berekspektasi dengan janjinya memulangkan tentara dari Irak. Dan memang dia berhasil melakukannya. Begitu pula janji manisnya kepada dunia Islam. Tanpa ragu, orang mudah percaya dia tidak membenci Islam. Dia berpidato di Mesir yang merupakan pusat peradaban Islam.

Tapi apa boleh buat. Hadiah Nobel ternyata bukan menunjukkan hasratnya pada perdamaian. Hadiah Nobel hanyalah ekspektasi Komite Nobel terhadap orang paling berkuasa di muka bumi itu.

Hari-hari belakangan kita tak menyangka, dia menyerang Libya. Tentu, tidak bisa dipungkiri dalih yang digunakannya: membantu rakyat Libya dari pembantaian rezim Khaddafi. Rezim itu telah terbukti membunuh secara membabi buta rakyat sipil yang tak bersalah.

Namun itulah yang telah terjadi. Dewan Keamanan PBB yang tak lain boneka Amerika dalam membela kepentingannya mengizinkan penyerangan udara atas negeri yang kaya minyak itu. Sekutu-sekutu setia Amerika pun turut serta.

Penyuka Perang

Dengan penyerbuan itu, bertambah pula sejarah yang dibuat Amerika. Negara itu mencatatkan setiap presidennya pernah melakukan agresi militer ke negara lain tatkala sedang menjabat.

George Bush Junior dengan Perang Irak dan Afganistan; Bill Clinton dengan Somalia; George Bush Senior dengan Perang Teluknya; Ronald Reagan dengan penyerbuan udara atas Libya tahun 1986. Tak usah disebutkan yang lain.

Tabiat perang para presiden mungkin bisa menegaskan  bahwa Amerika memang polisi dunia. Dalam situasi pelik yang dihadapi negara, mesin-mesin perang Paman Sam siap sedia bekarja. Tapi tidak hanya itu. Amerika juga turut serta memicu negara lain untuk berada di belakang mendukung tiap agresi.

Sungguh sangat disayangkan. Negara-negara pengekor Amerika itu hanya berani unjuk gigi ketika Amerika berada di depan mereka. Bahkan, untuk menghadapi negara yang tidak sebanding kekuatannya dengan mereka. Beranikah mereka menyerbi Libya jika Amerika tidak turut serta? Saya yakin mereka tidak berani. Negara-negara itu masih memiliki permasalahan dalam negeri yang amburadul. Prancis yang memimpin pasukan multinasional PBB itu bergelut dengan permasalahan tenaga kerja; negara Eropa lain pun dihinggapi krisis ekonomi yang hampir sama.

Obama-lah yang telah membuat Libya jadi seperti ini. Mungkin bukan Obama sebagai pribadi tapi Obama sebagai pelengkap dari struktur politik Amerika; sebagai orang yang mengisi "sejarah" kepresidenan. Siapapun yang menjadi presiden Amerika periode 2009-2013 pasti melakukan hal yang sama, meski sudah banyak contoh betapa perang bukanlah solusi akhir dalam menyelesaikan konflik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline