Sesudah peristiwa G30S yang membuat Soeharto naik ke puncak kekuasaan, hubungan diplomatik Indonesia dengan Republik Rakyat Cina (RRC) dibekukan. Tentu karena Pemerintah Komunis RRC diduga ikut membantu pemberontakan G30S―yang mana Rezim Soeharto menuduh―Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang. Bahkan jauh sebelumnya, para mahasiswa dalam aksi-aksi Tritura sudah merusak kedutaan RRC yang berada di Jakarta.
"Dendam" itu berakhir 25 tahun kemudian. Tahun 1990 Soeharto membuka lagi hubungan kedua negara. RRC moderen karena Deng Xiaoping sudah mereformasi negaranya. Mereka bukan lagi pengekspor revolusi ala Mao ke negara-negara lain. RRC telah menjadi macan ekonomi, beralih menjadi eksportir dagang.
Kita sudah merasakan efek normalisasi itu. Baju, sepatu, tas, hingga celana dalam yang dipakai orang Indonesia "patut diduga" buatan mereka. Inovasi peralatan elektronik mahal dari Barat bisa didapat tiruannya di sini.
Tapi, apakah pembekuan selama 25 tahun itu semata-mata karena de javu komunisme? Tentu saja tidak. Toh Indonesia tetap berhubungan dengan negara-negara komunis. Yang sebenarnya ditakuti Rezim Soeharto adalah ancaman atas kekuasaan mereka. Sebab kekhawatirkan penggulingan ala Iran juga ada. Syah Reza Pahlevy diturun paksa oleh rakyat dengan Ayatollah Rohullah Khomeini sebagai pembimbing moralnya. Inilah yang disebut Revolusi Islam Iran.
Segera, Soeharto melarang siswi dan mahasiswi di sekolah-sekolah negeri mengenakan jilbab. Kelompok-kelompok Islam (ekstrim kanan) makin dicurigai. Sebab, bukan tak mungkin revolusi Iran itu bisa diekspor juga ke Indonesia.
Sebenarnya, rezim otoriter di manapun memiliki kesamaan. Mereka mau terus berkuasa dengan dukungan militer di belakangnya. Mereka juga hidup mewah di Istana mereka dan lupa akan tanggung jawab terhadap rakyatnya. Kalau rakyat dalam suatu negara demokrasi bisa menuntut mundur pemimpin mereka, tidak demikian dalam Rezim diktator. Rakyat dibiarkan terus melarat dan pers tak diizinkan untuk hidup.
Namun, sejarah manusia telah menunjukkan, selalu ada jalan keluar dari setiap kebuntuan. Betapapun sebuah rezim mengekang warganya, rakyat punya caranya sendiri untuk melawan. Hanya, harga yang dibayar untuk itu memang mahal. Perlu darah, harta, dan instabilitas ekonomi dalam tempo yang tidak pendek.
"Berkas-berkas" sejarah revolusi memperlihatkan hal demikian. Jika revolusi didefinisikan sebagai perubahan yang begitu cepat dan radikal, maka kata "radikal" yang dimaksud tentu saja menunjukkan pengorbanan besar tadi. Revolusi Amerika, Prancis, Rusia, bahkan mungkin perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 1945-1949 adalah sedikit contoh bagaimana kata radikal tadi terejawantahkan. Rakyat ingin berpindah dari dunia lama ke dunia yang baru. Dengan kesadaran bersama, semua menghendaki satu kata: ganti!
Mungkin hal itulah yang menjadi kesadaran semua rakyat Mesir hari terakhir ini. Mereka bosan dengan Rezim Hosni Mubarak yang tak membawa kemajuan apa-apa. Namun sesungguhnya siapa yang berperan dalam menyulut upaya itu?
Seperti yang saya sebutkan di awal, Soeharto takut pada RRC dan Iran karena model revolusi mereka bisa saja terjadi di Indonesia. Dalam kasus Mesir, tampaknya revolusi yang mereka coba buat tidak ada tendensi kiri atau kanan. Mereka hanya mencoba untuk meniru tetangga mereka, Tunisia, yang berhasil menggulingkan Rezim diktator Ben Ali.
Ketakutan inilah yang mungkin sekarang menghinggapi Hosni Mubarak. Rakyat Mesir sudah mendapatkan momentum. Mereka tak mau pemimpin yang sudah berkuasa sejak 1981 itu kembali bertahta atau pun menjadikan anaknya sebagai penerus. Mereka menghendaki perubahan.