Lihat ke Halaman Asli

Samdy Saragih

Pembaca Sejarah

Gamawan Bersilat Lidah

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang ada dalam benak kita bila mendengar nama Gamawan Fauzi? Bekas gubernurkah? Anti-korupsi kah? Brutus-kah? Saya tidak tahu sebab setiap orang pasti memiliki kadar emosional tersendiri apabila mendengar namanya. Tapi, dalam melihat sepak terjang setahun terakhir pastilah kita sepakat apabila menyematkan Gamawan sebagai menteri paling kontroversial.

Mungkin ada yang merasa Tifatul Sembiring lebih pantas. Kita tahu sendiri, menteri satu ini juga paling sering mengumbar wacana-wacana sensasional. Tidak hanya menyangkut kebijakannya, tapi juga pribadinya. Terakhir, mantan presiden PKS itu menyulut kontroversi karena akan melarang RIM beroperasi di Indonesia.

Tapi Tifatul "berhak" melakukan itu. Dia memiliki kekuatan politik di belakangnya. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak mungkin tidak pasti membela mantan presidennya itu dari serbuan kritik. Jika presiden berani me-reshuffle kabinet, pasti kursi tifatul aman, minimal digeser jabatannya.

Bagaimana dengan Gamawan? Sampai sekarang saya tidak habis pikir mengapa SBY begitu menganakemaskan manterinya yang satu ini. Dari pemilihan dirinya sebagai deklarator pasangan SBY-Boediono menjelang pilpres 2009 yang lalu hingga jarangnya beliau disentil presiden. Gamawan mungkin boleh disebut sebagai gubernur terbaik di Indonesia dan pantaslah jika naik pangkat menjadi menteri. Bersama Fadel Muhammad yang sukses meningkatkan produksi jagung di Gorontalo, Gamawan melenggang menjadi pembantu presiden.

Namun, Fadel jelas memiliki faktor partai di belakangnya. Sebagai pendukung Aburizal Bakrie pada Munas Golkar tahun 2009―bahkan menjadi ketua sidangnya yang menguntungkan pendukung Bakrie―dia pasti dicalonkan partainya meski bukan pendukung SBY pada pilpres 2009. Tapi Gamawan?

Gamawan mungkin tahu dirinya dianakemaskan presiden. Seolah tanpa takut akan reshuffle atau yang lainnya, dia begitu berani mengeluarkan isu-isu kontroversial. Beberapa yang saya ingat: calon kepala daerah tanpa cacat moral, tidak perlu pilkada langsung untuk bupati/walikota, dan yang paling kontoversial tentu saja tatkala Gubernur DIY rencananya dipilih bukan ditetapkan.

Semua wacana kontroversial itu umumnya lebih berhubungan dengan eksperimen demokrasi yang hendak diterapkan di negeri ini. Calon kepala daerah tanpa cacat moral misalnya berkaitan dengan apakah demokrasi itu bisa sebebas-bebasnya. Dengan mengatakan kepala daerah harus bersih dari noda dan cela berarti ada upaya membatasi hak seseorang untuk dipilih. Begitu juga dengan wacana peniadaan pilkada langsung untuk gubernur dengan dalih pemborosan uang negara. Padahal kita baru 5 tahun mengadakan eksperimen demokrasi tersebut.

Rencana pemilihan Gubernur DIY mungkin yang paling banyak memakan korban. Rakyat Yogya berdemo. Lembaga Survey sibuk. Bahkan Ketua DPD Partai Demokrat DIY harus mengundurkan diri demi menjaga kehormatan ayahandanya. Semua itu hanya karena Gamawan tidak tahu bagaimana harus tampil berhadapan dengan publik dan media. Sekiranya RUU itu langsung digogok bersama DPR tak mungkin sang menteri menjadi "korban" di mata masyarakat.

Meski sudah cukup banyak, ternyata Gamawan masih merasa kurang melempar wacana yang kontroversial. Terakhir pada Jawa Pos hari ini diberitakan niat pemerintah yang tertuang pada RUU Pemilihan Kepala Daerah untuk hanya "memilih kepala daerah" dan bukan wakil kepala daerah. Wakil kepala daerah rencananya harus berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dan dilantik secara terpisah.

Wacana ini digulirkan karena tidak mau pengalaman pilkada Kota Surabaya terulang di daerah lainnya. Kita tahu, pada pilkada Surabaya yang lalu Walikota Surabaya periode sebelumnya mencalonkan diri sebagai wakil walikota. Hal ini dikarenakan pembatasan jabatan walikota dua periode berturut-turut. Tak disangka, Bambang DH sang walikota itu berhasil memenangkan pilkada bersama pasangannya Tri Rismaharini.

Gamawan barangkali tidak mau pilkada Surabaya menjadi preseden yang secara etika sangat tidak pantas itu. Dengan mensyaratkan wakil walikota/bupati harus PNS, berarti walikota/bupati tak mungkin bisa mengajukan dirinya lagi menjadi wakil walikota/bupati karena otomatis sebagai kepala daerah dia bukanlah PNS―berhenti jadi PNS.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline